"Hadirilah Sidang Disertasi Doktoral Bapak Tuan Guru Bajang TGKH. M. Zainul Majdi, M.A, nanti hari Sabtu, 8 Januari 2011 M, pukul: 10:00 Waktu Kairo, di Aula Syeikh Abdul Halim Mahmud Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo " " Pokoknya NW, Pokok NW Iman & Taqwa " " Inna Akromakun Indi Anfa'ukum Linahdlatil Wathan Wainna Syarrokum Indi Adhorrukum Binahdlatil Wathan " " Dewan Tanfidziyah Perwakilan Khusus Nahdlatul Wathan Mesir Periode VI Masa Bakti 2010-2011 "

Tuesday, December 8, 2009

Kisah Perjalanan Spiritual Sidi As-Syaikh Ahmad Bin 'Aliwah Rahimahullahu Ta'ala

Beliau RA menceritakan panjang lebar tentang dirinya:
"Aku belum pernah menghasilkan karya tulis sebelumnya, juga tidak pernah masuk sekolah satu haripun, selain memperoleh ilmu dari ayahku melalui pembelajaran al-Quran di rumah kami. Aku telah mneyelesaikan hapalan quran sampai surat ar-Rahman. Namun sayangnya terhenti sampai di situ, sebab banyak kepentingan mendesak yang harus kulakukan. Ketika itu kondisi ekonomi keluargaku memang sangat buruk, sedangkan ayahku adalah orang yang berwibawa tinggi, sangat pantang menampakkan wajah melas atau butuh pada orang lain. Maka terpaksa akulah yang pontang panting mencari pekerjaan. Pada akhirnya aku menekuni pembuatan perhiasan dan aku semakin mahir hingga usaha tersebut juga semakin meluas. Begitulah keadaanku selama bertahun-tahun, sampai akhirnya aku pindah usaha ke perdagangan.



Ayahku kemudian meninggal dunia saat aku berumur tujuh belas tahun. Beliau pergi menghadap ampunan Allah dalam keadaan rida terhadapku. Namun sepeninggal ayah, banyak hal yang harus kulakukan untuk membantu ibu. Meski demikian, aku tidak berhenti mengikuti beberapa pelajaran (pengajian) malam yang memang merupakan rutinitasku, juga beberapa perkumpulan majlis zikir. Awalnya ibu melarangku, sebab kegiatan itu ada di luar kota, jalanannya mengkhawatirkan, juga berbahaya bagi orang yang berjalan sendirian di malam hari. Namun demikian, aku tetap bersikeras menghadiri pengajian-pengajian tersebut, sampai pada akhirnya Allah menenangkan hati beliau untuk meridoiku. Begitu seterusnya sampai akhirnya beliaupun wafat tahun 1332 H-1914M saat aku berumur 46 tahun. Selama hayatnya aku selalu berusaha memberikan kebaktian terbaik. Puji syukur bagi Allah karena dengan taufiq-Nya aku mempu melakukan itu semua.

Selanjutnya, pelajaran yang aku ikuti bukanlah suatu rutinitas wajib, hanya kusempatkan di sela-sela pekerjaanku dan waktunya pun tidak menentu. Beruntung aku memiliki bakat dan kemampuan cukup kuat dalam memahami. Jika tidak, maka entah apa yang dapat kucapai. Selain itu akupun rajin membaca dan menelaah kitab. Seringkali kuhabiskan waktu malam hanya untuk membaca. Dalam hal ini aku juga dibantu oleh beberapa masyayikh. Begitu seterusnya sampai beberapa bulan lamanya. Namun upayaku untuk terus mengikuti pengajian tersebut, ternyata hanya mampu bertahan selama kurang dari dua tahun. Tapi disisi lain aku tetap berupaya menekuni ilmu-ilmu lain untuk mengasah pemahamanku. Hasilnya, kecerdasanku tidak semakin berkembang, pengetahuanku juga tidak meluas, sampai akhirnya aku menemukan ilmu kaum (tasawuf) dan bergaul dengan para tokohnya.

Adapun asal muasal aku bergabung dalam ilmu tasawuf dan bergaul dengan beberapa tokohnya adalah sebagai berikut: Pada mulanya aku tertarik pada ahli nisbat (ahli tentang silsilah nasab/peramal. Faktor yang turut mendukungku adalah kondisiku semasa kecil yang memiliki kecendrungan tabiat menyenangi hal-hal yang langka dan aneh (di luar kebiasaan).Tidak lama aku sudah mahir dan menjadi superior di kalangan mereka. Lantaran kejahilanku, aku pikir hal semacam itu merupakan ibadah. Manakala Allah ingin mengilhamiku; suatu hari ketika kami sedang mengadakan perkumpulan, tiba-tiba aku melihat secarik kertas tertempel di dinding tempat itu. Pandanganku lantas tertumpu pada suatu perkataan yang dinisbatkan kepada seseorang. Perkataan tersebut menyadarkanku untuk meninggalkan hal-hal di luar kebiasaan yang biasa kulakukan selama ini. Maka akupun mengharuskan diri untuk membatasi kegiatanku di dunia itu, hanya sebatas mengamalkan doa-doa, wirid dan hizb-hizb saja. Sejak saat itu, aku berupaya memisahkan diri dari jamaah dengan berbagai dalih sampai akhirnya aku tinggalkan semua itu. Lantas akupun ingin keluar dari jamaah secara total. Namun ternyata itu tidaklah mudah. Benar aku telah keluar dari jamaah itu secara total, tapi ada satu kebiasaan yang belum bisa kutinggalkan yaitu menangkap ular, kadang sendirian, atau bersama beberapa teman. Sampai akhirnya Allah mempertemukanku dengan Syaikhi Sidi Muhammad al-Buzaidi RA. Suatu hari ketika bertemu beliau di pertokoanku beliau berkata padaku "Aku dengar kamu pandai menangkap ular dan tidak takut bisanya." Aku jawab "Ya, begitulah saya". "Bisa tidak sekarang kamu mengambilkannya satu" lanjutnya. "Mudah saja", jawabku. Maka aku segera keluar kota untuk mencarinya. Namun setengah hari berlalu aku hanya memperoleh seekor ular kecil yang panjangnya tidak sampai sepergelangan tangan. Ku datangkan ular itu pada beliau dan kuletakkan di depannya. Maka aku mulai memain-mainkan ular itu seperti biasanya. Beliau lantas melihat ulahku dan berkata "Dapatkah kamu menemukan ular yang lebih besar dari itu?". "Bagi saya sama saja" jawabku. Beliau berkata lagi "Mari kutunjukkan padamu sesuatu yang jauh lebih besar dan berbahaya dari itu. Jika kamu dapat memegangnya dan menanganinya, maka kamu menjadi orang bijaksana". "Mana dia?" tanyaku. Beliau menjawab "Itulah hawa nafsu yang ada pada dirimu sendiri. Maka sungguh racunnya lebih berbahaya daripada racun ular. Namun jika kamu dapat menahan dan menguasainya maka kamu akan jadi orang bijak. Pergilah dan perlakukanlah ular ini seperti biasanya. Setelah itu jangan mengulanginya lagi". Maka akupun berlalu dari hadapannya sambil menghayalkan tentang hawa nafsu yang beliau bicarakan tadi, bagaimana mungkin bisanya dapat lebih berbahaya dari racun ular?.

Adapun awal perkumpulanku dengan beliau RA dan Allah menumpahkan limpahan asrar-nya, bagaimanapun itu semua merupakan taufik Allah semata. Kami tidak pernah mengunjungi beliau ataupun sekedar bermaksud ketempatnya, melainkan beliaulah yang mengunjungi tempat kami. Kebetulan aku dan temanku (alm) Sidi al-Haj bin 'Audah bin Sulaiman seringkali membicarakan dan berunding mengenai peran para ulama dan ahwal para 'arifin. Kami memandang wajib mutlak menjadikan seseorang sebagai qudwah (teladan) di jalan Allah sesuai persyaratan yang biasa berlaku di kalangan sufi. Namun kami kesulitan menemukan sifat-sifat ideal seperti yang disyaratkan tersebut. Meski demikian kami tetap berupaya mencari seorang syekh untuk diteladani. Hingga suatu hari temanku memperoleh taufik Allah, dia berkata padaku "Aku mengenal seorang syeikh yang dijuluki " Hamuw?as-syeikh bernasab mulia. Beliau pernah hijrah ke Maroko bertahun tahun. Namun ketika banyak memiliki jamaah/pengikut dan berbicara tentang tarekat tasawuf beliau diuji Allah dengan orang-orang yang menyakiti dan menentangnya. Berbeda dengan sekarang, beliau justeru lebih menampakkan seperti seorang murid yang tidak populer, sulit dikenali identitas sebenarnya. Menurutku beliau itu patut dijadikan panutan di jalan Allah, sebagaimana yang ditunjukkan sunnatuLlah pada makhluk-Nya "Tidaklah seorang mursyid itu ditampakkan, kecuali Allah menguji dengan orang-orang yang menyakitinya, baik dari teman sendiri maupun musuh." Begitulah kira-kira makna perkataan temanku. Sejak itu kami bertekad untuk bergabung dengan orang yang disebut temanku tadi. Sebenarnya aku pribadi belum pernah mengenal orang tersebut, kecuali ketika aku terkena sakit di waktu kecil. Nama beliau kudengar disebut oleh orang yang datang mengobatiku dengan ruqyah "Aku memperoleh ini dari Hamuw as-Syekh Muhammad Buzaidi" katanya. Maka akupun memakainya dan sembuh.

Selang beberapa waktu ketika kami berdua sedang berniaga temanku berujar padaku "Lihat, itulah syekh yang aku ceritakan sedang lewat di jalan." Temanku kemudian berdiri menghampiri beliau dan mengajaknya duduk bersama kami. Beliaupun duduk dan kami mulai bercakap-cakap. Tapi aku tidak mengerti tema apa yang sebenarnya dibicarakan dan hanya sibuk bertanya-tanya sendiri. Ketika beliau ingin berpamitan keluar, temanku meminta beliau untuk tidak berhenti menziarahi kami. Kemudian beliau berpamitan lantas pulang. Sepulangnya beliau, barulah aku bertanya pada temanku tentang pembicaraan tadi. Dia menjawab "Perkataan beliau lebih tinggi dari apa yang tertera dalam kitab-kitab". Begitulah beliau tetap mengunjungi kami dan temanku lah yang banyak bertanya dan berbincang dengan beliau. Sedangkan aku jarang sekali, sebab terkadang segan dengan beliau atau lebih banyak disibukkan dengan perdaganganku. Di sela-sela waktu, mulailah beliau meyakinkanku, kemudian beliau berkata pada temanku "Seseorang itu dapat ditarbiyah atau dengan kata lain dapat menerima pendidikan (tarbiyah)". Suatu ketika beliau melihat secarik kertas di tanganku yang isinya berupa pujian bagi syeikh sidi Muhammad Isa RA. Lantas beliau berkata "Jika kita panjang umur, insyaAllah kita bisa seperti beliau atau memperoleh maqam seperti maqam beliau". Aku segera menjauhkan angan itu dari benakku, namun aku berucap pada beliau "insyaAllah". Ringkasnya, tidak lama akupun semakin merasa yakin dengan beliau dan menjadikannya panutan dalam perjalanan spiritualku menuju ALlah. Temankupun demikian, malah dia lebih dulu dariku melakukan itu sekitar dua bulan tanpa sepengetahuanku. Dia sama sekali tidak pernah memberitahuku sebelumnya kecuali setelah aku turut bersuhbah kepada syekh tersebut. Aku pun tidak tahu alasannya. Setelah aku berguru dengan beliau dan diberikan wirid khusus pagi dan petang, beliau memintaku untuk tidak berbicara hal tersebut pada orang lain. Seminggu kemudian beliau memanggilku dan mulai berbicara denganku tentang al-Ismu al-a'zdam (Allah) dan bagaimana menyibukkan diri dengan-Nya, kemudian menyuruhku untuk terus menerus berzikir sesuai petunjuk dan metode khusus waktu itu. Namun beliau tidak menentukan ruang khusus khalwat untuk zikir. Akupun tidak menemukan tempat yang layak untuk menyendiri. Maka kuadukan hal tersebut pada beliau dan beliau menjawab "Tidak ada tempat yang lebih tepat untuk bersendiri kecuali kuburan". Maka aku mulai berzikir sendirian di dekat pekuburan, namun tidak mendatangkan hasil, juga tidak menambah semangatku untuk berzikir, padahal aku sudah mengupayakannya berhari-hari. Hal itu dikarenakan aku seringkali merasa takut. Akupun mengeluhkannya pada syekh. Beliau menjawab "Aku tidak mewajibkanmu melakukan itu. Aku hanya mengatakan bahwa di kuburan lah tempat kita sendiri". Kemudian beliau memerintahkanku agar menyingkat zikir pada sepertiga malam terakhir. Maka begitulah, aku berzikir di malam hari dan berkumpul dengan beliau siang harinya. Terkadang beliau yang mendatangiku, terkadang aku yang mendatangi beliau. Hanya saja tempat beliau tidak selalu dapat digunakan untuk perkumpulan karena faktor keluarga maupun yang lainnya.

Namun di samping itu, di tengah hari aku tetap mengikuti pelajaran ilmiyah yang biasa aku ikuti sebelumnya. Suatu hari beliau menanyakanku perihal tersebut "Ilmu apa yang biasanya rajin kamu ikuti itu?". "ilmu tauhid" jawabku. "Sekarang saya sedang mendalami tentang dalil-dalil". Maka beliau berkata "Sidi fulan menamakan ilmu tersebut dengan ilmu tauhil (pengotoran), lebih baik kamu menyibukkan diri untuk mensucikan batin (hatimu) sampai cahaya Tuhanmu menyinarinya hingga kamu betul-betul mengenal makna tauhid. Adapun ilmu kalam tidak akan berfaedah, melainkan justeru hanya menambah keraguan dan ilusi." Begitulah makna perkataan beliau. Beliau berkata lagi "Lebih baik kamu tinggalkan semua pelajaran itu sampai kamu selesaikan amalanmu sekarang, sebab mendahulukan yang lebih penting itu wajib." Belum ada perintah yang kurasakan lebih berat dari perintah beliau yang satu ini. Sampai-sampai aku nyaris tidak mematuhinya saking sudah merasa senang dengan pelajaran-pelajaran tersebut untuk menambah pemahamanku. Namun beruntung Allah membisiku batinku "Siapa tahu itu juga merupakan ilmu yang kamu cari atau bahkan lebih tinggi dari itu". Kedua; kuhibur diriku sendiri, barangkali larangan menekuni ilmu tersebut tidak selamanya. Ketiga; bagaimanapun aku telah dibaiat untuk mematuhi perintah beliau. Keempat; mungkin beliau hanya ingin mengujiku seperti yang biasa dilakukan para murobbi. Sayangnya semua gelitik hati tersebut tidak mampu menepis kegalauan di hati. Namun akhirnya perasaan itu benar-benar pergi sejak aku mengganti waktu-waktu belajarku dengan berzikir dalam khalwat, terutama ketika hasil zikir tersebut mulai ku rasakan.

Adapun tahapan-tahapan yang ditetapkan syekh pada setiap murid berbeda satu sama lain. Ada yang berbicara dengan beliau tentang adam, ada yang berbicara tentang sifat-sifat ma'ani ataupun perbuatan-perbuatan yang bersifat ketuhanan (Allah). Setiap perkataanpun mempunyai metode khusus.

Sedangkan metode yang paling dominan dilalui oleh seorang salik (murid) dan itu pula yang kami pegang selama ini adalah diwajibkan berzikir dengan al-Ism al-a'zdam(Allah) disertai dengan mengkonsentrasikan huruf-hurufnya untuk menghadirkan Allah hingga lafaz tersebut benar-benar tertancap kuat dalam hati. Kemudian seorang murid diperintahkan membentangkan huruf tersebut dan mengagungkannya sampai memenuhi sisi barat dan timur. Zikir tersebut terus menerus dilakukan dengan metode tersebut sampai sifat-sifatnya berubah menjadi semacam cahaya. Kemudian syekh memberi petunjuk agar keluar dari pemandangan tersebut dengan cara yang sukar diterangkan. Melalui isyarat tersebut ruh murid lantas dengan cepat seperti keluar dari alam ini (dunia), selama ia memiliki kesiapan yang matang. Jika tidak, maka dia membutuhkan upaya pensucian hati dan latihan terus menerus. Dengan isyarat tersebut murid mampu membedakan antara mutlak dan terikat. Yang nampak baginya dunia ini seperti bola ataupun pelita, lengkap dengan kekosongan yang tak berpermulaan ataupun berakhir. Kemudian pemandangan seperti ini semakin melemah dengan terus berzikir dan berpikir sampai yang tertinggal hanya kesan setelah sebelumnya nampak nyata. Kemudian seluruhnya benar-benar hilang baik yang nampak nyata maupun kesan tadi. Begitulah murid akan terus dalam kondisi tersebut sampai dia tenggelam dalam dunia mutlak tak terikat apapun. Keyakinannya semakin tertancap melalui cahaya mutlak tersebut. Setiap saat syekh mengontrol dan menanyayai perkembangan kondisinya dan memperkuat zikir tersebut sesuai dengan tingkatannya, sampai murid merasakan suatu puncak perasaan yang muncul dalam dirinya dan selalu merasa tidak cukup tanpa itu. Syekh senantiasa membacakan potongan ayat al-quran ini "wa yatluhu syahidun minhu". Ketika murid telah sempurna musyahadahnya sesuai dengan tingkatan(kuat lemah) maqamnya masing-masing, maka dia akan kembali ke alam syahadah (dunia nyata) setelah sebelumnya keluar dari sana. Ia pun menyaksikan hal berbeda dari pemandangan sebelumnya. Itu semua dikarenakan hatinya telah bersih bercahaya. Bagaimana tidak, yang dilihatnya tidak lain adalah cahaya di atas cahaya seperti yang ia saksikan sebelumnya. Akupun telah mengambil maqam tersebut, terus berada di sana bertahun tahun lamanya dan semakin berkembang. Beberapa pengikut lantas mempelajari apa-apa yang kutulis ketika aku berada dalam penguasaan maqam tersebut. Di antara mereka sekarang ada yang memahami hal itu ada juga yang tidak. Kondisi semacam ini terkadang masih menghantuiku. Namun tulisan tersebut tidak kuselesaikan, karena lebih banyak terpanggil untuk langsung menyampaikannya. Bagiku itu adalah bekal termudah dan lebih dapat menyentuh perasaan.

Metode tarekat(tarbiyah) yang aku sebutkan dari syekh tadi itulah yang menjadi pedoman terakhir dalam perjalanan spiritualku dan yang paling banyak ditempuh oleh pengikut-pengikutku selanjutnya, karena bagiku itu merupakan jalan yang paling singkat untuk menuju Allah Swt.(ma'rifatuLlah). Kemudian setelah zikir tersebut membuahkan hasil yaitu ma'rifat kepada Allah dengan musyahadah aku merasa masih punya kekurangan pengetahuan dalam ilmu tauhid, juga melalui isyarat syeikh. Maka setelah itu beliau menyuruhku untuk kembali menghadiri pelajaran-pelajaran yang pernah aku ikuti sebelumnya. Namun herannya, selama menghadiri pelajaran tersebut aku memperoleh pemahaman yang berbeda dari pemahaman sebelumnya. Aku dapat menangkap inti permasalahan lebih dulu sebelum syeikh selesai menggambarkannya. Kemudian pemahamanku juga bertambah selain dari makna zohirnya. Singkatnya pemahamanku betul-betul tidak sebanding dengan yang dahulu. Demikianlah, pemahamanku semakin meluas. Sampai sampai jika seseorang membaca al-Quran, perasaanku sudah terlebih dahulu mengungkap kandungan makna-maknanya dengan cara yang sungguh luar biasa. Ketika hal itu tertancap kuat dalam diri dan seolah menguasaiku secara alami , akupun merasa takut berada di bawah kendali warid tersebut. Maka aku mulai menuliskan apa yang terlintas dalam hati tentang pemahaman al-Qur'an dengan karakter yang tidak biasa karena aku dalam pengendalian warid tersebut. Hal inilah yang turut memotivasiku untuk menjelaskan kitab al-Mursyid al-Ma'in melalui metode isyari, mewaspadai kemungkinan tejebak dalam ibarat yang terlalu tinggi. Ketika itu pemahamanku sudah mulai terkendali. Hal seperti ini juga pernah terjadi sebelum aku merampungkan kitab yang bernama Miftah al-Syuhud fi Madzohiri al-Wujud yang ketika tahap persiapannya kondisi spritualku melambung tinggi karena beberapa faktor, arah pikiranku meleset dan pembicaraanku jadi panjang lebar. Disamping aku tidak mampu membendung getaran itu. Maka aku aku adukan hal tersebut kepada syeikh. Lantas beliau mengatakan "Hempaskan itu dari benakmu dan letakkanlah dalam suatu kitab, maka engkau akan merasa tak terbebani lagi. Dan benar itu terjadi seperti yang beliau katakan. Adapun kitab tersebut sampai sekarang hasratku belum terpanggil untuk menyebarkannya. Allah lah yang mengetahui apa yang akan terjadi nantinya.

Setelah sekian lama aku menyibukkan diri dengan zikir al-ism al-a'dzam yang merupakan kelazimanku selama ini (hal ini kulakukan berhari hari lamanya) syekh berkata "Sekarang kamu harus menyampaikan dan menunjuki orang-orang ke jalan ini, karena engkau telah yakin akan perkara ini". Maka aku berkata "Apakah menurut engkau mereka mau mendengarkan saya?". Beliau berkata "Sesungguhnya kamu akan seperti singa. Bagaimanapun kamu letakkan tanganmu di atas sesuatu, maka kamu akan selalu memperolehnya". Apa yang dikatakan beliau betul terjadi. Bagaimanapun aku menyampaikan hal itu pada seseorang untuk mematuhi tarekat ini, maka niscaya dia mengikuti perkataanku dan mengikuti petunjukku, sehingga tarekat ini semakin berkembang (puji syukur bagi Allah). Suatu ketika aku pernah menanyakan beliau tentang perintah beliau agar aku menyampaikan ilmu tersebut setelah sebelumnya memintaku untuk diam. Maka beliau menjawab "Ketika pertama kali aku datang ke Maroko, aku menyebarkan ilmu ini seperti yang kulakukan sebelumnya. Namun ketika banyak orang menampakkan pertentangan, aku melihat Rasulullah Saw. mengisyaratkanku untuk diam. Maka sejak saat itu akupun diam sampai aku nyaris terbakar. Karena itulah sekarang aku mengizinkanmu untuk menyebarkan dakwah. Jika tidak aku tidak mungkin seberani ini memberimu izin dakwah. Di hari-hari terakhir ini aku melihat seseorang mengatakan padaku (sampaikanlah! itu tidak mengapa)". Barangkali yang beliau maksudkan seseorang itu adalah baginda Rasulullah Saw. Wallahu'alam.

Demikianlah aku bersama beliau di masa-masa permulaan. Suhbahku pada beliau kemudian berlanjut hingga lima belas tahun lamanya, berjuang bersama menegakkan agama Allah di tarekat ini. Ada banyak orang yang turut membantu dan mendukungku. Dan tidaklah tersisa dari para senior-senior kecuali hampir sepuluh orang (semoga Allah selalu mengokohkan kehidupan mereka dan menambah pertolongan-Nya. amin). Adapun peranku dalam tarekat ini lebih banyak mengorbankan jiwa ragaku untuk berkhidmat pada syekh, juga membantu menyebarkan dakwah. Sampai-sampai aku rela meninggalkan beberapa kepentingan daruratku. Jika saja bukan karena persaudaraanku dengan al-Haj bin 'Audah bin Sulaiman yang memelihara harta dan mengontrol perniagaanku, niscaya aku telah kehilangan itu semua. Begitulah aku benar-benar total mengabdi di jalan ini, sampai tempat perdaganganpun dikesampingkan karena digunakan untuk kegiatan pembelajaran di malam hari. Namun alhamdulillah semua itu tidak mengurangi penghasilanku, juga tidak mengurangi jatah perniagaan.

Kemudian sebelum syekh RA wafat, Allah mengilhamiku dengan suka bepergian. Maka aku mulai mempersiapkan segala sarana untuk pindah ke arah Timur, karena aku melihat negara tersebut dilanda degradasi moral. Namun ketika aku hampir saja berangkat, tiba-tiba syekh sakit keras dan beliau mengetahui rencana keberangkatanku. Aku merasa tidak tega meninggalkan beliau dalam kondisi tersebut. Begitupula saran teman-temanku. Adapun hal yang paling memberatkan ku adalah banyaknya pekerjaan yang sukar dilaksanakan. Di satu sisi aku harus menemani syekh yang sedang sakit. Di sisi lain, aku sudah memeperoleh visa bersama keluarga yang apabila waktunya habis tidak dapat dipergunakan lagi, sedangkan saat itu sulit sekali memperoleh visa. Harta benda dan perkakas rumah juga sudah kujual. Ringkasnya aku seperti bukan berada di negara sendiri. Apalagi sebelumnya aku telah menitipkan isteriku pada kerabat di kota Tilmasan. Maka dengan berat hati pada akhirnya aku memilih untuk meninggalkan syekh ku pada detik-detik terakhirnya dan aku pergi setelah kurang lebih lima belas tahun mengabdi pada beliau. Selama itu aku tidak pernah menentang beliau. Setelah beberapa hari berselang beliaupun wafat.

Syekh telah mengisyaratkan bahwa akulah khalifah dan pewaris sir beliau. Hal ini juga merupakan kesepakatan dari para fuqara(kaum sufi) ketika mendengarnya dari syekh dan memimpikannya. Maka berdatanganlah seluruh kalangan awam dan khas dari ahli tarekat untuk dibaiat. Setelah itu, kami bepergian ke berbagai negara-negara Islam. Ketika aku berada di Tunis, berdatangan pula beberapa kaum faqih dan sufi. Di situ kami mengadakan muzdakaroh dan saling tukar pemahaman tentang berbagai masalah. Beberapa fuqaha yang aku ingat pernah berkumpul denganku waktu itu di antaranya: ahli hadist sidi al-Akhdhar bin al-Husain dan syekh Shaleh al-Qushaibi, serta sidi syekh Ahsawinah al-Jazairi. Beberapa murid mereka ada yang telah direkrut dengan suka rela, ada juga yang belum. Beberapa kelompok terakhir ini kemudian banyak yang masuk tarekat kami. Sebagian mereka mengusulkan agar aku memberikan mereka pelajaran kitab al-Mursyid al-Ma'in dan menjelaskannya dengan metode isyari seperti yang terangkum dalam perkataan pengarang "Adanya merupakan bukti yang nyata dan pasti bahwa segala yang hadist menunjukkan adanya Pencipta". Hal ini banyak mendatangkan dampak positif bagi pendengar dan beberapa mereka masuk tarekat kami karenanya. Demikianlah kami menghabiskan masa itu dengan zikir dan nasehat. Sebagian mereka mampu mengambil manfaatnya, berkat ziarah tersebut alhamdulillah.

Demikianlah beliau r.a menceritakan profile beliau. Adapun semasa hidup beliau senantiasa mengajar fiqih dan bahasa arab serta menyebarkan dakwah Islam kepada umat. Dampak amal saleh ini, maka tersebarlah tarekat beliau ke berbagai negara, khususnya di daerah perkampungan Galizan dan Tilmasan. Pengikutnya telah mencapai ratusan orang. Beliau disaksikan dengan berbagai keramat dan limpahan sifat-sifat rabbani. Penduduk Tilmasan sangat menghormati dan memuliakan beliau, baik dari para syuyukh, fuqaha dan ulama-ulama dari kaum pedagang. Hal semacam ini merupakan sesuatu yang langka terjadi pada orang lain di masa beliau.

Di hari-hari itu, beliau mengarang kitab bernama "Lubab al-'Ilmi fi Tafsiri surah an-Najm" yang manfaatnya sungguh dirasakan para murid dan mampu dijadikan motivator besar bagi yang mengharap rida ALlah. Di saat itu beliau juga seringkali pulang pergi mengunjungi kota Tilmasan sampai dua atau tiga kali dalam setahun. Setiap kunjungan, beliau tinggal di sana sekitar satu atau dua bulan lamanya. Hari kunjungan beliau merupakan hari yang paling ditunggu oleh para penduduknya. Bandara pun menjadi penuh dan sesak oleh orang-orang yang menunggu kedatangan beliau. Beliau disambut dengan penuh sukacita dan penghormatan. Beliau wafat pada tahun 1934 M, semoga Allah menempatkan beliau di surgaNya yang lapang. Amin.

Baca selengkapnya...

Sunday, December 6, 2009

Kau Dan Aku Untuk Kita

dalam bias senyum terpatri asa tersirat bahagia
lantaran berkumpul jiwa-jiwa haus di beranda kasih
dahulu tercerai sahaja, tak peduli muram durjana
kini kau ada bersama matahari pagi
semaikan rindu selembut embun

kau yang sendiri begitu rapuh
namun tidak dalam kebersamaan
karena hati-hati terpaut
karena janji janji menyatu
kau dan aku ada untuk kita



ya, kau dan aku ada untuk kita
bukan dicela saat terlupa, terseret luka
bukan dicerca saat tak mampu lakukan apa
tetapi rangkul saja dengan cinta
karena kita ada untuk maju bersama

ya, kau dan aku ada untuk kita
bukan membumbung tinggi lupakan kawan
bukan pula tertinggal sendiri di belakang
mengayuh sama-sama, berjuang sama-sama
karena bumi tercinta tak harapkan bercerai

ya, kau dan aku ada untuk kita
karena kita terdiri dari kau dan aku
bukan aku aku yang berjalan congkak
bukan juga kau yang tak tahu menahu
tetapi kemarilah, satukan tekad dan cinta!

by: amie el-banzary

Baca selengkapnya...

Pengaduan

setiap hari yang tidak sama...
di mana manusia berubah...
dapatkah ia lebih bijak dari waktu ke waktu
bertambah yakin dan iman...?
atau kah hanya biarkan dirinya menderita...
merugi???
sambil menghitung detik2 kematian...
takutkan kehilangan...
seolah-olah dunia di hatinya
seolah-olah harta membuntutinya
seolah-olah takkan terpisahkan
dengan orang2 terkasih..



adakah sama mata yg menangisi dunia
dengan mata yang basah menangisi dosa?
adakah sama hati yg bening karena cintaNya
dengan yg ternoda karena makhlukNya?
Adakah semangat yang membaja….
Selain ketika hamba bergantung pada Tuhannya?

Jika Allah Maha Gayyur...
layakkah hati resah karena selainNya?

manusia tak punya daya
jika bukan karena rahmat dan petunjukNya...
Allah al-Shomad, tempat bergantung satu2nya...

ku namakan ini perjuangan
di mana tak ada kata pengorbanan.....
karena yg ada hanya peluang keikhlasan untuk Rabb

ya Allah...
Ampuni dosa2 ku, orang tua ku,
mereka2 yg ku sayangi
mereka2 yg Kau cintai
Ampuni semua dosa orang muslim
hapus kesedihan mereka yg lemah...
gantikan dengan kekuatan karena Engkau,
kasihi kami, rahmati kami...
karena jiwa kami ada padaMu

Baca selengkapnya...

Aku Lelaki

Kamar losmen yang baru saja aku sewa nampak begitu suram. Harusnya tidak begitu, karena lampu besar yang dipasang cukup menerangi seisi kamar, bahkan nyaris menyilaukan. Ukuran kamar juga cukup besar untuk kutinggali seorang diri. Tapi aku tak menikmatinya dan tak mampu menikmati apapun malam ini. Aku merasa dunia sangat sempit. Hatiku terlalu gelap, entah karena terkotori oleh egoku atau lelahku pada kehidupan ini. Entah, aku lelaki terpasung dalam bisu. Lelaki yang merasa ingin pergi jauh dan membuktikan pada dunia bahwa aku mampu menjadi lelaki dengan caraku sendiri.



Aku seperti mencari sesuatu, tanpa mengerti apa. Persetan dengan mereka yang telah bersusah payah mendidikku jadi lelaki dahulu. Aku muak! Aku tak bahagia. Aku ingin menikmati masa mudaku semau hati tanpa seorang pun melarang. Persetan dengan ayah yang sok militan mendidikku. Apalagi ibu yang kini tak berdaya apa-apa atasku. Perempuan itu kini hanya mampu mengeluh di atas kursi rodanya. Dia memang sudah lemah dan renta kini, terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Apakah setiap saat aku harus bersusah payah merawatnya? Menghabiskan banyak waktuku hanya untuk membantunya melakukan sesuatu?

Setan hitam bersarang di jiwaku kini. Aku tersenyum kecewa, mengingat kejadian memuakkan tadi sore, sebelum aku menginjakkan kaki di losmen ini. Ya, selama ini aku selalu mematuhi apa kata ayah, dari kecil tak pernah berani membantah. Bagiku ayah adalah sosok tegas yang terlalu berwibawa di mataku. Aku anak satu-satu nya, lelaki satu-satunya. Ayah mendidikku terlampau keras, sampai-sampai aku merasa tak pernah pantas punya pilihan sendiri atas hidupku. Aku marah dan menderita, namun hanya mampu memendamnya. Tapi sekarang semuanya berbeda. aku sudah dewasa, dan aku merasa bukan lagi anak kecil yang perlu diatur demikian rupa.

Puncaknya, ketika ayah tidak menyetujui keputusanku untuk kuliah di luar kota, aku sudah tak mampu membendung semuanya. Lahar panas yang tersimpan lama dalam dadaku, seketika membara, mengeluarkan sumpah serapah yang tak pernah aku katakan pada siapapun sebelumnya. Ayah tersentak. Matanya memerah. Namun sebelum ia sempat berkata-kata lagi aku segera berlari ke kamar, merapikan baju-bajuku untuk segera ke luar dari rumah yang terasa seperti neraka. Ayah mendatangiku dan mencoba membujukku.

"mau ke mana, nak?" suaranya datar, tak ada nada kemarahan.
"kamu tidak kasihan ibu jika kamu pergi jauh dari rumah ini?. Kamu boleh kuliah di jurusan apa saja nak, tapi ayah mohon tetaplah ada di rumah, temani ayah merawat ibumu!" tak seperti biasanya ayah memohon. Biasanya hanya ada perintah atau larangan.

Hatiku tertohok mentah-mentah. Aku lantas berdiri tepat di depan ayah.
"Dari dulu saya selalu menuruti kata ayah, harus begini, tidak boleh begitu! Apa belum cukup dinamakan berbakti? Sekarang hanya karena ibu, saya yang jadi korban? Kan ayah bisa menyewa pembantu untuk merawat ibu? Atau jika itu merepotkan ayah, kita bisa saja menitipkan ibu ke panti jompo? Beres kan?"
Plakkk. Satu tamparan keras mendarat di pipiku. Sakit luar biasa.

Ayah sangat marah dan tidak pernah menyangka aku akan mengatakan kata-kata pedas itu. Aku sendiri tak tahu kenapa aku begitu nekat. Mungkin karena aku sudah muak dengan semuanya. Aku sudah tak tahan. Aku tinggalkan ayah yang masih menyimpan seribu kemarahan dan kekecewaan. Aku keluar dari rumah tanpa tahu keberadaan ibu saat itu. Mungkin aku sudah menjadi anak yang durhaka. Tapi aku tak peduli. Aku merasa pantas melakukan itu. Terlalu lama aku menahan sesak di dada. Aku ingin membayar semua kebahagiaan yang terenggut dengan caraku sendiri.

Malam larut, mataku terpejam, tapi pikiranku mengawang ke masa dulu, saat ayah mendidikku bagaimana menjadi lelaki.
"ayo nak, bangun! Kamu harus kuat, harus bisa!". Begitu ayah menyemangati, kalau aku sudah berputus asa mengejar bola, belajar naik sepeda, atau jika sudah kewalahan mengerjakan peer di sekolah. Sesekali ayah membentak jika aku menangis.
"lelaki gak boleh cengeng. Jangan menangis!!!!".
Jika ayah sudah bersuara keras begitu, aku hanya mampu tersentak. Setiap subuh ayah membangunkanku. Kalau aku malas-malasan ia tidak segan-segan menarik tanganku dengan kasar sampai aku terbangun. Pernah juga suatu ketika ia memarahiku habis-habisan karena ketahuan membonceng fatma anaknya pak haji Abdullah sepulang sekolah. Dia bilang seorang lelaki tak layak berduaan dengan perempuan.

Aku mengagumi ayah ketika itu. Bagiku ia sosok disiplin yang bersahaja, berbeda dengan ibu yang lebih lunak dan tak pernah marah. Ibu lebih banyak membelaku dan seringkali memuji setiap kali ku berhasil melakukan sesuatu. Tapi itu dulu, sebelum aku merasa dewasa dan mengenal duniaku. Sekarang aku mulai merasa ingin lebih. Aku merasa ingin merubah hidupku. Aku merasa tak perlu lagi dicampuri urusanku. Aku ingin bebas seperti yang lain. Semakin lama aku semakin tidak suka dengan cara ayah mendekteku. Kenapa aku tidak boleh menentukan hidupku sendiri?, berpura-pura penurut di depan ayah, berpura-pura lugu. Kupikir ayah bukan mendidikku sebagai lelaki, tapi sebaliknya. Aku punya otak pintar, punya tampang dan uang. Kenapa aku tak boleh menikmati itu semua dengan caraku sendiri???"

Teriakan emosiku waktu itu membuatku terduduk lemas. Keringat dingin mengucur deras. Tanpa sadar aku meraih hape ku, menghubungi Aldy teman SMA dulu. Sejam kemudian aku meninggalkan losmen dengan Aldy, pergi ke suatu tempat. Kuingin pergi jauh dari kemelut. Terbang hingga tak mampu merasakan kepedihan lagi.
"bawa aku kemana saja, dy. Plis! Pikiranku sudah buntu."
"ke mana ? Aldy menanyaiku yang tak berdaya layaknya mayat hidup. Ia memboncengku sambil ngebut. Aku sudah tidak peduli. Yang penting aku bebas malam ini.
"terserah kamu aja dy!, ke tempat yang kamu tawarkan kemarin juga boleh". Aldy tak menggubris lagi, tapi aku tahu dia pasti tersenyum menang karena berhasil membawaku ke diskotik. Dari dulu dia selalu menyarankanku pergi ke sana, setiap kali ku mengeluh soal ayah, atau ibu yang lemah di pembaringan.
"nikmati hidup fren! Mumpung masih muda! Ngapain dipikirin hal begituan. Enjoy…fly!!!" aldy, teman yang mengaku sebagai teman baikku itu tak pernah berhenti membunjukku ikut dengannya ke klub2 malam. Biasanya aku selalu berhasil menolak. Namun kali ini aku pasrah. Aku mengaku kalah.

Jadilah malam itu aku menghabiskan waktu menikmati surga dunia. Sesuatu yang sebelumnya hanya pernah aku dengar kini benar-benar mampu membawaku terbang, ditemani sebotol wisky dan perempuan-perempuan erotis. Di sini aku aman tanpa seorangpun melarang. Di sini aku juga bisa mencumbui wanita-wanita cantik semau hati, tanpa harus sembunyi-sembunyi seperti dulu aku berpacaran dengan fatma tetanggaku itu. Aku tergelak meski kesedihan itu tak mau pergi. Aku tertawa meski dalam memoriku masih tertinggal kasih ayah ibu. Aku tenggelam dalam duniaku sendiri. Aku bangga dengan diriku sebagai lelaki bebas. Inilah aku yang disebut lelaki. Dan aku takkan menangis. Akan kubuktikan bahwa aku tidak butuh mereka. Aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Aku lelaki…
*******
Aku tak tahu bahwa sosok ibu yang telah renta itu berdoa dalam salat malamnya. Memohon pada Allah agar hatiku dibukakan kembali. Matanya yang tlah rabun tak henti menangis. Memintakan ampun Tuhannya atas kekhilafanku, dan berharap aku segera kembali. Ia ingat aku kecil saat di pangkuan, ketika masih tinggal di desa bersama nenek. Apabila menjelang magrib, aku kecil paling senang pergi ke surau bersama teman-teman. Tak pernah lupa memakai peci hitam kesukaanku. Sesekali aku menemani bang Ujang memandikan kerbau. Aku kecil pandai membaca quran, selalu lebih dulu khatam dari teman-teman. Aku juga selalu jadi juara kelas. Aku kecil begitu sempurna di mata Ibu, baginya aku adalah permata hati yang sangat ia cintai, bahkan hingga kini aku pergi, ia tetap mencintai dan merindukan kepulanganku.

Mulut itu tak henti berkomat kamit dengan do'a. doa yang ia lantunkan di ruangan pengap serba putih. Ya, ia merasa seolah akan kehilangan dua orang yang dicintainya sekaligus. Ayah tiba-tiba terjatuh kena serangan jantung, tidak lama setelah aku pergi, dan kini terbaring lemah di rumah sakit. Dokter berani memastikan bahwa jiwanya sulit diselamatkan, kecuali takdir berkata lain. Tapi ibu benar-benar berhati baja, ia tak lelah meminta pertolongan Allah, agar masih diberi kesempatan untuk membahagiakan suaminya dan aku, anaknya. Doa itu tlah menancap kuat di dadanya.

******

Aroma bunga kamboja menusuk, daun-daunnya berjatuhan layaknya musim semi. Langkah-langkah kaki berlalu dengan hening. Isak tangis warnai pekuburan yang lenggang. Aku hanya bisa mematung sendiri, menyaksikan upacara pekuburan ayah dari kejauhan, dengan air mata bercucuran. Aku tak tahu apa aku masih pantas menampakan diri sebagai seorang anak, berdiri dan terisak di samping ibu. Aku bukan lelaki seperti yang ia harapkan, bahkan mungkin aku bukanlah manusia. Seseorang yang berhati batu sepertiku tak lagi layak disebut manusia. Tiba-tiba saja aku sangat merindukan sosok ayah yang tangguh dan tegar. Aku baru tahu ternyata dia menyimpan penyakitnya dari dulu, namun ia tidak pernah menunjukkannya padaku. Ia juga pernah mengatakan bahwa tidak ada yang lebih berharga selain melihatku dewasa. Oh, aku ini anak seperti apa? Sanggupkah aku memohon ampun pada ibu? Masihkah layak ku berada di sisinya kembali? Rasanya kuingin pergi saja, menebus dosa-dosaku dalam sepi.

Aku nyaris saja berlalu, jika saja tak kudengar suara ibu memanggilku. Matanya sudah tak mampu melihat dengan jelas. Tapi seorang ibu tak pernah salah mengenali anaknya. Nurani yang memberitahukannya keberadaanku.
" anakku, kemari nak!" oh, suara tulus itu seperti menggerogoti ulu hati. Entah angin apa yang membawaku langsung bersimpuh di kakinya. Ku lerai segala slogan kecongkakanku atas nama lelaki. Kuciumi tangannya dengan segenap rasa bersalahku. Dan aku tak peduli dunia mengataiku lelaki cengeng. Justeru aku bersyukur masih diberi kesempatan untuk berbakti pada seorang wanita yang bernama ibu, meski ku tak sempat meminta ampun pada ayah.

"Ibu!! Maaf…" hanya itu yang mampu keluar dari mulutku. Rantai penyesalan menyekik tenggorokan, membuatku tak mampu berkata apapun lagi. Ku tenggelam dalam buai kasih ibu. Ia hanya tersenyum penuh haru sambil mengelus rambutku manja, persis ketika ia menimangku waktu ku kecil dulu, atau membujukku yang merengek minta dibelikan mainan. Garis di wajahnya tidak menunjukan rasa marah, ia juga tidak menangis. Barangkali dia telah lelah menangis. Untukku dia selalu tegar.

Pagi tak bermentari. Ribuan malaikat seolah berdatangan mengitari tanah basah pekuburan. Ku dorong kursi roda ibu pergi meninggalkan kuburan ayah, meninggalkan seribu doa dan janji, bahwa aku takan pernah pergi lagi, menemani ibu sampai batas waktu yang ku ada. Aku ingin menjadi lelaki berbakti, berusaha lakukan yang terbaik dan menebus air mata yang selama ini tumpah dari mata ibu. Karena aku memang ada untuk berbakti. Karena aku terlahir dari rahim ibu yang suci. Aku lelaki…

Baca selengkapnya...

Ternyata Aku Bukan Tuhan

Ketika ada yang bertanya :
“ kenapa aku ingin menjadi seorang penulis?”
“ karna aku ingin menjadi tuhan”

Bagiku menulis bukan hanya harus mempunyai modal keinginan atau pengetahuan, tapi juga harus punya basic dalam berimajinasi. Aku ingin menjadi seorang penulis yang kritis, puitis, juga intelektualis.
Kenapa aku ingin menjadi tuhan? Karna aku ingin menggariskan taqdir buat tokoh-tokoh yang ada dalam ceritaku, aku ingin berbuat sekehendakku, aku ingin menamatkan riwayat peran utamanya dengan caraku sendiri, dengan tanganku, tepatnya dengan goresan penaku. Aku ingin semua kehidupannya sesuai dengan kehendakku, apa yang terfikir di otakku, aku ingin semua berjalan seperti yang aku inginkan.



“ sudahlah, tidak ada yang perlu di tangisi lagi” kata doraemon seraya mengagetkanku.
“ apa yang bisa ku lakukan sekarang?” tanyaku kembali padanya.

Pagi ini udara begitu dingin, padahal belum saatnya musim dingin. hingga selimut tebal yang sekian lama aku simpan baik2 dalam lemari mungilku ku bongkar, lalu ku hamparkan untuk menutup seluruh tubuhku dan hampir tidak ada yang tidak tertutupi kecali wajahku. Mataharipun begitu, iya juga tak mau kalah unjuk kebolehan, meski udaranya dingin, tapi iya tetap tersenyum menatap manusia yang membutuhkan cahayanya, tertawa riang menatap tumbuh2an yang selalu mengharap disinari sebagai perkembang biakannya. Begitu juga dengan riak-riak air sungai itu, selalu mengalir dan mengalir tanpa henti, seolah mengisyaratkan bahwa hidup kan terus mengalir apapun yang terjadi, hidup kan terus nyata meski kita sering membuatnya sebagai halusinasi semata, ia kan terus berjalan meski tangis dan tawa berganti.

Ku hirup udara dalam-dalam, dan tiba2 melihat jam dinding Mickey mouse yang tergantung di dinding kamarku, “ sudah jam 8:00 “ batinku. Aku bergegas kekamar mandi, aku ada kuliah pagi hari ini, jadi aku harus secepatnya ke kampus. “ aku harus lebih dahlu datang daripada dosen” begitu aku menyemangati diriku pagi itu.
Dan tepat pukul 8:30 aku sudah on the way ke kampus, jarak dari rumah ke kampusku tidak terlalu jauh, maksimal menghabiskan waktu kurang lebih 20 menit. Kemudian dari gerbang kampus ku singsingkan lengan bajuku, dan berkata pada dunia :

“ aku datang menjemput masa depanku…”

Aku berlari menerobos keramaian mahasiswi yang sedang asyik berbelanja di kantin kampus, aku tau mereka pasti tidak sempat sarapan dirumah. Satu hal yang membuat aku bangga menjadi mahasiswi di universitas ini bahwa “ aku sudah masuk dalam komunitas islami, menjadi mahasiswi yang tidak berfikiran kerdil, dikelas maupun di luar kelas selalu berbicara tentang pelajaran, selalu mementingkan ilmu diatas segala2nya”.
Aku tersenyum bangga, meski aku belom mampu sepenuhnya untuk menjadi seperti itu, tapi tekadku untuk menjadi mahasiswi yang bernotabene islami masih tersemat di jiwaku. Yah… aku akan menjadi sosok perempuan perkasa yang mengispirasi.

Setelah mengikuti 3 mata pelajaran hari ini, mataku terasa sangat lelah sekali, tak bisa ku pertahankan lagi meski sejenak saja. Dengan perasaan kantuk yang sangat aku terkapar diatas meja kelas yang kosong, aku sudah tidak bisa lagi mempertahankan rasa itu, tapi rasa itu begitu besar dan sangat meracuni otakku. Hingga pada akhirnya aku tertidur setengah jam-an. Ketika terbangun, aku mendapatkan diriku seolah menjadi tontonan topeng monyet gratis, teman-teman sekelasku mengelilingi bangkuku dan menatapku dengan tatapan yang sangat aneh dan penuh tanda Tanya. Instink ku pun tak mau kalah untuk bertanya “ kenapa mereka menatapku dengan tatapan seperti itu? Apa ada yang salah dengan diriku, dengan wajahku? Dengan badanku? Atau……” oh My God.. sesegera mungkin aku menyadarkan diriku lalu berusaha menghindar dari kerumunan banyak orang, seperti kerumunan orang yang sedang kecelakaan sepeda motor, yang kepala hancur dan badannya terpisah-pisah. Tapi ketika itu aku sadar, ternyata dengan buaian mimpi tadi aku bukan hanya Ngigau, tapi juga mengukir peta diatas kanvas meja kelas.
“Huhhhh…. Kebiasaan yang tak pernah hilang” teriakku membatin.

Setelah tragedi dalam kelas itu, aku punya kebiasaan baru sebelum masuk kelas, yaitu Minum kopi, agar sepanjang kelas nanti aku tidak akan memejamkan mataku barang sejenak. Sehingga otakku bener-bener terfokus pada satu titik, yaitu Keterangan Dosen.

Pulang dari kampus aku termangu di depan laptopku, satu demi satu foldernya aku buka, hingga akhirnya tanganku tergerak untuk membuka folder Foto. Satu demi satu foto aku buka, dan sedikit demi sedikit memoryku tentang dia kembali terungkit. Dia yang begitu dekat denganku, dia yang selalu mencipatakan senyuman dibibirku, dia yang selalu tidak bosan untuk menasehatiku, dia yang selalu sabar menghadapi sifat kekaanak-kanakanku, dia.. dia… dan dia… sunggh tak habis rasanya jika berbicara tentang dia. Semua apa yang sudah aku lalui bersama dia satu persatu menjadi kenangan. Satu persatu menjadi sejarah.

Sekarang… aku sudah kehilangan sosoknya, dalam batin aku hanya mampu mengucapkan :

“ wiil you please never forget it even when you already have a new…”

Seperti yang aku katakana di awal, apapun yang terjadi hidup kan terus berjalan, meskipun kita menangis darahpun tak akan ada yang bisa menghentikan semua ini, kecuali yang Kuasa yang telah membuat semua ini.

Satu persatu butiran bening itu kemabali menetes di pipiku, bukan menangisi dia yang sudah punya tambatan hati, tapi menangisi semua ini yang begitu cepat berlalu, menangisi hubungan yang tidak lagi harmonis, menangisi keadaan yang tidak lagi memungkinkan untuk aku selalu bersamanya, menangisi kepergianya yang begitu cepat. Sangat memilukan.

“mba fie nangis lagi?” Tanya adik kelasku yang kebetulan sekamar denganku.
“ nggak doraemon….” Jawabku sambil mencoba tersenyum padanya.

Aku memang seringkali memanggilnya dengan sebutan “doraemon” karna selain lucu dia juga imut, persis sekali dengan doraemon.

“ mba fie sudahlah, jangan terlalu di tangisi, semua sudah terjadi bukan berarti Semuanya sudah berakhir mba, segala kemungkinan bisa saja terjadi. Sekarang kita hanya mampu berdo’a, jika dia yang terbaik yang di sediakan Allah untuk kita, Insya’Allah akan di pertemukan dengan keadaan apapun. perjalanan kalian masih terlalu panjang, meski sudah waktunya untuk memikirkan hal itu, tapi mari kita dahulukan prioritas kita sebagai mahasiswa dulu. Ok ok ok ?? mba fie senyum dong….”

Aku kaget kenapa doraemon bisa sebijak itu menasehatiku, kata-kata yang terucap dari lidahnya begitu mudah dan mempunyai makna yang sangat dalam buatku. Dia memang sangat perhatian terhadapku, sudah ku anggap seperti adikku sendiri, tapi aku gak pernah terfikir dia seperhatian ini padaku. Sampai hafal gerak gerikku tatkala kena musibah, dia ngerti banget tatapan mataku ketika gundah menghampiriku.

“liat saja, dia akan kembali kepangkanku, dia akan kembali seperti orang yang pertama kali aku kenal, dia akan selalu menemaniku dalam hari2ku, dia juga akan mengisi diary kehidupanku. Dia akan terus menjagaku apapun yang terjadi. Kau tau kenapa? Karna aku tau senyuman itu sama seperti dulu, gak akan pernah berubah. Dia adalah pujaan hatiku yang terus menemani aku kemanapun aku pergi. Kau tau kenapa? karna tatapan mata itu selalu memberiku arti pengorbanan. “
Aku terus berkata tanpa jeda, mengurai kata tentang dia, orang yang selalu aku sayangi, orang yang selalu memberiku harapan tak berkoma.

“ mbak… sudalah… kenyataannya kalian sudah mempunyai jalan masing-masing. Semuanya tidak seperti yang kita inginkan, mba bukanlah seorang tuhan yang bisa mengatur segalanya, tapi kita tidak lebih hanyalah seorang hamba yang hanya akan menerima apa adanya.” Kata doraemon seolah menyadarkan aku dari ketidakwarasanku berfikir tentang dia.

By: annisa el-karomi

Baca selengkapnya...

Membangun Dua Pilar Ummat

"Kamu adalah sebaik-baik umat yang yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kebaikan, mencegah kemunkaran dan beriman kepada Allah SWT".

Pilar utama: kekuatan individu (wa tu'minuna billah)

Salah satu pilar penting yang membangun umat adalah kekuatan individu dengan landasan iman yang kuat, hati dan spiritual yang selalu yaqzhah (terjaga/mawas diri). Dengannya seorang muslim akan mampu menyelaraskan kehidupannya antara dunia dan akhirat, perkataan dan perbuatan. Hati yang hidup bertindak sebagai pengawas yang selalu memonitori setiap tingkah laku, bahkan menjangkau hal-hal yang tak mampu ditangani oleh peraturan umum yang berlaku di sekelilingnya sekalipun.



Sikap seperti inilah yang disebut dengan ma'rifatullah, yaitu iman mutlak atas pengawasan Allah. Barang siapa yang peka dengan pengawasanNya, maka ia juga akan lebih baik dalam mawas diri. Jika demikian berarti ia telah mencapai martabat Ihsan: kamu menyembah Allah seolah-olah kamu melihatNya. Jika kamu tidak melihatNya maka sesungguhnya Ia melihatmu.

Jika seorang muslim telah berada dalam maqam ini, maka ia akan menjadi pribadi yang kuat, apapun perannya dalam kehidupan; sebagai orang tua, anak suami, isteri, remaja dan sebagainya. Ia pun akan mampu mengendalikan dirinya dengan baik ketika ditimpa berbagai macam cobaan dan kesulitan.

Pilar kedua: opini publik yang Islami (ta'muruna bil ma'ruf wa tanhauna 'an al-munkar)

Tidak cukup disebut umat yang ideal jika kekuatan individu tersebut tidak ditopang dengan opini publik yang sehat. Karena bagaimanapun manusia adalah makhluk sosial yang saling berinteraksi satu sama lain. Maka kerjasama yang solid atas kebaikan mutlak diperlukan. Harus jelas batasan-batasan/standar baik dan buruk, bukan justeru sebaliknya: yang halal diremehkan, yang haram malah dianggap hal yang lumrah bahkan membanggakan. Saking urgennya perkara amar ma'ruf nahi munkar ini, Rasulullah pernah menyinggungnya dalam hadist bahwa salah satu pemicu kerusakan umat adalah jika mereka telah melalaikan amar ma'ruf nahi munkar. Maka Rasulullah melarang umatnya dari sifat egois (imma'ah). Kita dianjurkan berbuat baik kepada orang yang baik, namun tidak membalas kejahatan orang yang berbuat jahat, melainkan memberinya arahan dan nasehat. Kita juga dapat mengambil hikmah dari kisah seorang ahli ibadah yang hendak dilemparkan gunung ke arahnya lantaran dia rajin beribadah namun tidak memperdulikan sesama muslim di sekelilingnya. Ini menunjukan pentingnya amar ma'ruf nahi munkar.

Maka kedua pilar ini harus diselaraskan untuk melahirkan umat yang ideal. Berapa banyak orang yang imannya kuat, namun dengan mudah goyah oleh opini publik yang tidak sehat. Tidak sedikit juga orang yang awalnya tidak memiliki akhlak yang terpuji, namun dapat dengan mudah membangkitkan imannya dengan bantuan lingkungan yang baik.

Saat ini dunia mulai terbalik. Hawa nafsu dan kebodohan manusia lah yang telah membalikkan fakta, menyamarkan perkara halal dan haram bahkan mencampuradukkannya. Padahal antara keduanya itu bayyin (jelas). Opini publik telah tercacati oleh segala macam penyimpangan-penyimpangan agama. Maka bukanlah perkara mudah mempertahankan kekuatan individu yang dimiliki. Orang yang baik di tengah-tengah masyarakat yang buruk bagaikan permata yang berkilau, akan selalu dicari. Atau bahkan bisa dianggap hal yang aneh dan langka. Begitu pula orang yang buruk di tengah-tengah lingkungan yang baik, nurani kecilnya akan merasa bersalah dan ciut. Dengan petunjuk Allah barangkali dia akan selalu merasa resah dan bersalah dengan keadaan itu, lantas lambat laun akan merubah dirinya ke arah perbaikan. Namun sebaliknya, jika ia lari kepada dirinya sendiri (hawa nafsu), justeru ia akan dapat mencemari opini publik yang sehat tersebut dengan keburukan akhlaknya.

Persoalannya sekarang adalah bagaimana dua pilar kepribadian tersebut dapat terbangun pada sosok seorang muslim? Sedangkan realita yang berbicara selama ini menegaskan bahwa betapa banyak seorang anak terlahir tanpa pendidikan Islam yang baik dari kedua orang tuanya? Degradasi moral yang melanda umat manusia saat ini juga turut berperan serta dalam meluluhlantakkan cita-cita agama dan bangsa untuk melahirkan generasi unggul imtaq dan ipteknya. Para pendidik tidak lagi memperhatikan aspek-aspek moralitas dalam pengajarannya. Para ulama dan kaum intelektualitas hanya sibuk memperdebatkan siapa yang benar mana yang salah. Belum lagi serangan musuh-musuh Islam dari luar yang menyusup ke dalam tubuh umat, mengadu domba, memecah persatuan dan mempromosikan tema-tema liberalisasi di bawah topeng demokrasi, toleransi, persamaan dan lainnya. Kedua pilar umat yang seyogyanya terbangun justeru diruntuhkan oleh kebodohan umat Islam sendiri.

Ya, jika masing-masing individu tidak segera bertindak maka idealisme tersebut akan tertindas oleh kelengahan kita sendiri Idealisme tersebut hanya akan menjadi teori tanpa bukti, sementara setiap kita bertugas untuk menjunjung tinggi keizzahan Islam. Maka sebagai langkah awal membangun kembali dua pilar umat tersebut adalah melihat kembali peran masing-masing kita, mempelajari dan memahami dengan benar untuk kemudian diamalkan. Jika anda seorang remaja, mulailah berpikir ke depan, evaluasi berbagai aspek yang diperlukan untuk memperkokoh pemahaman agama dan kepribadian ideal, menyadari bahwa anda lah asset umat yang kelak juga akan menjadi orang tua yang mendidik anak-anaknya. Jika proses pemurnian akhlak tersebut tidak dimulai dari anda, bagaimana kelak dapat melahirkan generasi yang baik? Jika anda seorang suami dan kepala keluarga, sudahkan memahami dengan benar tugas berat tersebut, dimana anda lah yang kelak dimintai pertanggungjawaban atas baik buruknya keluarga anda? Jika anda seorang ibu rumah tangga, sudahkan anda siap menjadi figure teladan bagi anak-anak anda? Menciptakan suasana rumah penuh keharmonisan, sikap-sikap islami dan saling menghargai? Ya, setiap pelakon hendaknya menanyakan kembali peran masing-masing sebagai bahan evaluasi dan introspeksi diri untuk kemudian sama-sama bangun dan menyadari bahwa persoalan umat ada di diri kita masing-masing, bukan dimana-dimana. Memang, persoalan umat sebenarnya lebih rumit dari yang kita bayangkan. Namun paling tidak hal itu dapat diminimalisir dari sini, dari setiap diri kita, sehingga perlahan-lahan kedua pilar umat (kekuatan individu dan opini public yang Islami) tersebut dapat terbangun kembali.
Wallahu a’lam.

* Amie el-banzary

Baca selengkapnya...

  © Blogger template 'Ladybird' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP