"Hadirilah Sidang Disertasi Doktoral Bapak Tuan Guru Bajang TGKH. M. Zainul Majdi, M.A, nanti hari Sabtu, 8 Januari 2011 M, pukul: 10:00 Waktu Kairo, di Aula Syeikh Abdul Halim Mahmud Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo " " Pokoknya NW, Pokok NW Iman & Taqwa " " Inna Akromakun Indi Anfa'ukum Linahdlatil Wathan Wainna Syarrokum Indi Adhorrukum Binahdlatil Wathan " " Dewan Tanfidziyah Perwakilan Khusus Nahdlatul Wathan Mesir Periode VI Masa Bakti 2010-2011 "

Tuesday, January 4, 2011

Undangan Umum


Baca selengkapnya...

Tuesday, December 8, 2009

Kisah Perjalanan Spiritual Sidi As-Syaikh Ahmad Bin 'Aliwah Rahimahullahu Ta'ala

Beliau RA menceritakan panjang lebar tentang dirinya:
"Aku belum pernah menghasilkan karya tulis sebelumnya, juga tidak pernah masuk sekolah satu haripun, selain memperoleh ilmu dari ayahku melalui pembelajaran al-Quran di rumah kami. Aku telah mneyelesaikan hapalan quran sampai surat ar-Rahman. Namun sayangnya terhenti sampai di situ, sebab banyak kepentingan mendesak yang harus kulakukan. Ketika itu kondisi ekonomi keluargaku memang sangat buruk, sedangkan ayahku adalah orang yang berwibawa tinggi, sangat pantang menampakkan wajah melas atau butuh pada orang lain. Maka terpaksa akulah yang pontang panting mencari pekerjaan. Pada akhirnya aku menekuni pembuatan perhiasan dan aku semakin mahir hingga usaha tersebut juga semakin meluas. Begitulah keadaanku selama bertahun-tahun, sampai akhirnya aku pindah usaha ke perdagangan.



Ayahku kemudian meninggal dunia saat aku berumur tujuh belas tahun. Beliau pergi menghadap ampunan Allah dalam keadaan rida terhadapku. Namun sepeninggal ayah, banyak hal yang harus kulakukan untuk membantu ibu. Meski demikian, aku tidak berhenti mengikuti beberapa pelajaran (pengajian) malam yang memang merupakan rutinitasku, juga beberapa perkumpulan majlis zikir. Awalnya ibu melarangku, sebab kegiatan itu ada di luar kota, jalanannya mengkhawatirkan, juga berbahaya bagi orang yang berjalan sendirian di malam hari. Namun demikian, aku tetap bersikeras menghadiri pengajian-pengajian tersebut, sampai pada akhirnya Allah menenangkan hati beliau untuk meridoiku. Begitu seterusnya sampai akhirnya beliaupun wafat tahun 1332 H-1914M saat aku berumur 46 tahun. Selama hayatnya aku selalu berusaha memberikan kebaktian terbaik. Puji syukur bagi Allah karena dengan taufiq-Nya aku mempu melakukan itu semua.

Selanjutnya, pelajaran yang aku ikuti bukanlah suatu rutinitas wajib, hanya kusempatkan di sela-sela pekerjaanku dan waktunya pun tidak menentu. Beruntung aku memiliki bakat dan kemampuan cukup kuat dalam memahami. Jika tidak, maka entah apa yang dapat kucapai. Selain itu akupun rajin membaca dan menelaah kitab. Seringkali kuhabiskan waktu malam hanya untuk membaca. Dalam hal ini aku juga dibantu oleh beberapa masyayikh. Begitu seterusnya sampai beberapa bulan lamanya. Namun upayaku untuk terus mengikuti pengajian tersebut, ternyata hanya mampu bertahan selama kurang dari dua tahun. Tapi disisi lain aku tetap berupaya menekuni ilmu-ilmu lain untuk mengasah pemahamanku. Hasilnya, kecerdasanku tidak semakin berkembang, pengetahuanku juga tidak meluas, sampai akhirnya aku menemukan ilmu kaum (tasawuf) dan bergaul dengan para tokohnya.

Adapun asal muasal aku bergabung dalam ilmu tasawuf dan bergaul dengan beberapa tokohnya adalah sebagai berikut: Pada mulanya aku tertarik pada ahli nisbat (ahli tentang silsilah nasab/peramal. Faktor yang turut mendukungku adalah kondisiku semasa kecil yang memiliki kecendrungan tabiat menyenangi hal-hal yang langka dan aneh (di luar kebiasaan).Tidak lama aku sudah mahir dan menjadi superior di kalangan mereka. Lantaran kejahilanku, aku pikir hal semacam itu merupakan ibadah. Manakala Allah ingin mengilhamiku; suatu hari ketika kami sedang mengadakan perkumpulan, tiba-tiba aku melihat secarik kertas tertempel di dinding tempat itu. Pandanganku lantas tertumpu pada suatu perkataan yang dinisbatkan kepada seseorang. Perkataan tersebut menyadarkanku untuk meninggalkan hal-hal di luar kebiasaan yang biasa kulakukan selama ini. Maka akupun mengharuskan diri untuk membatasi kegiatanku di dunia itu, hanya sebatas mengamalkan doa-doa, wirid dan hizb-hizb saja. Sejak saat itu, aku berupaya memisahkan diri dari jamaah dengan berbagai dalih sampai akhirnya aku tinggalkan semua itu. Lantas akupun ingin keluar dari jamaah secara total. Namun ternyata itu tidaklah mudah. Benar aku telah keluar dari jamaah itu secara total, tapi ada satu kebiasaan yang belum bisa kutinggalkan yaitu menangkap ular, kadang sendirian, atau bersama beberapa teman. Sampai akhirnya Allah mempertemukanku dengan Syaikhi Sidi Muhammad al-Buzaidi RA. Suatu hari ketika bertemu beliau di pertokoanku beliau berkata padaku "Aku dengar kamu pandai menangkap ular dan tidak takut bisanya." Aku jawab "Ya, begitulah saya". "Bisa tidak sekarang kamu mengambilkannya satu" lanjutnya. "Mudah saja", jawabku. Maka aku segera keluar kota untuk mencarinya. Namun setengah hari berlalu aku hanya memperoleh seekor ular kecil yang panjangnya tidak sampai sepergelangan tangan. Ku datangkan ular itu pada beliau dan kuletakkan di depannya. Maka aku mulai memain-mainkan ular itu seperti biasanya. Beliau lantas melihat ulahku dan berkata "Dapatkah kamu menemukan ular yang lebih besar dari itu?". "Bagi saya sama saja" jawabku. Beliau berkata lagi "Mari kutunjukkan padamu sesuatu yang jauh lebih besar dan berbahaya dari itu. Jika kamu dapat memegangnya dan menanganinya, maka kamu menjadi orang bijaksana". "Mana dia?" tanyaku. Beliau menjawab "Itulah hawa nafsu yang ada pada dirimu sendiri. Maka sungguh racunnya lebih berbahaya daripada racun ular. Namun jika kamu dapat menahan dan menguasainya maka kamu akan jadi orang bijak. Pergilah dan perlakukanlah ular ini seperti biasanya. Setelah itu jangan mengulanginya lagi". Maka akupun berlalu dari hadapannya sambil menghayalkan tentang hawa nafsu yang beliau bicarakan tadi, bagaimana mungkin bisanya dapat lebih berbahaya dari racun ular?.

Adapun awal perkumpulanku dengan beliau RA dan Allah menumpahkan limpahan asrar-nya, bagaimanapun itu semua merupakan taufik Allah semata. Kami tidak pernah mengunjungi beliau ataupun sekedar bermaksud ketempatnya, melainkan beliaulah yang mengunjungi tempat kami. Kebetulan aku dan temanku (alm) Sidi al-Haj bin 'Audah bin Sulaiman seringkali membicarakan dan berunding mengenai peran para ulama dan ahwal para 'arifin. Kami memandang wajib mutlak menjadikan seseorang sebagai qudwah (teladan) di jalan Allah sesuai persyaratan yang biasa berlaku di kalangan sufi. Namun kami kesulitan menemukan sifat-sifat ideal seperti yang disyaratkan tersebut. Meski demikian kami tetap berupaya mencari seorang syekh untuk diteladani. Hingga suatu hari temanku memperoleh taufik Allah, dia berkata padaku "Aku mengenal seorang syeikh yang dijuluki " Hamuw?as-syeikh bernasab mulia. Beliau pernah hijrah ke Maroko bertahun tahun. Namun ketika banyak memiliki jamaah/pengikut dan berbicara tentang tarekat tasawuf beliau diuji Allah dengan orang-orang yang menyakiti dan menentangnya. Berbeda dengan sekarang, beliau justeru lebih menampakkan seperti seorang murid yang tidak populer, sulit dikenali identitas sebenarnya. Menurutku beliau itu patut dijadikan panutan di jalan Allah, sebagaimana yang ditunjukkan sunnatuLlah pada makhluk-Nya "Tidaklah seorang mursyid itu ditampakkan, kecuali Allah menguji dengan orang-orang yang menyakitinya, baik dari teman sendiri maupun musuh." Begitulah kira-kira makna perkataan temanku. Sejak itu kami bertekad untuk bergabung dengan orang yang disebut temanku tadi. Sebenarnya aku pribadi belum pernah mengenal orang tersebut, kecuali ketika aku terkena sakit di waktu kecil. Nama beliau kudengar disebut oleh orang yang datang mengobatiku dengan ruqyah "Aku memperoleh ini dari Hamuw as-Syekh Muhammad Buzaidi" katanya. Maka akupun memakainya dan sembuh.

Selang beberapa waktu ketika kami berdua sedang berniaga temanku berujar padaku "Lihat, itulah syekh yang aku ceritakan sedang lewat di jalan." Temanku kemudian berdiri menghampiri beliau dan mengajaknya duduk bersama kami. Beliaupun duduk dan kami mulai bercakap-cakap. Tapi aku tidak mengerti tema apa yang sebenarnya dibicarakan dan hanya sibuk bertanya-tanya sendiri. Ketika beliau ingin berpamitan keluar, temanku meminta beliau untuk tidak berhenti menziarahi kami. Kemudian beliau berpamitan lantas pulang. Sepulangnya beliau, barulah aku bertanya pada temanku tentang pembicaraan tadi. Dia menjawab "Perkataan beliau lebih tinggi dari apa yang tertera dalam kitab-kitab". Begitulah beliau tetap mengunjungi kami dan temanku lah yang banyak bertanya dan berbincang dengan beliau. Sedangkan aku jarang sekali, sebab terkadang segan dengan beliau atau lebih banyak disibukkan dengan perdaganganku. Di sela-sela waktu, mulailah beliau meyakinkanku, kemudian beliau berkata pada temanku "Seseorang itu dapat ditarbiyah atau dengan kata lain dapat menerima pendidikan (tarbiyah)". Suatu ketika beliau melihat secarik kertas di tanganku yang isinya berupa pujian bagi syeikh sidi Muhammad Isa RA. Lantas beliau berkata "Jika kita panjang umur, insyaAllah kita bisa seperti beliau atau memperoleh maqam seperti maqam beliau". Aku segera menjauhkan angan itu dari benakku, namun aku berucap pada beliau "insyaAllah". Ringkasnya, tidak lama akupun semakin merasa yakin dengan beliau dan menjadikannya panutan dalam perjalanan spiritualku menuju ALlah. Temankupun demikian, malah dia lebih dulu dariku melakukan itu sekitar dua bulan tanpa sepengetahuanku. Dia sama sekali tidak pernah memberitahuku sebelumnya kecuali setelah aku turut bersuhbah kepada syekh tersebut. Aku pun tidak tahu alasannya. Setelah aku berguru dengan beliau dan diberikan wirid khusus pagi dan petang, beliau memintaku untuk tidak berbicara hal tersebut pada orang lain. Seminggu kemudian beliau memanggilku dan mulai berbicara denganku tentang al-Ismu al-a'zdam (Allah) dan bagaimana menyibukkan diri dengan-Nya, kemudian menyuruhku untuk terus menerus berzikir sesuai petunjuk dan metode khusus waktu itu. Namun beliau tidak menentukan ruang khusus khalwat untuk zikir. Akupun tidak menemukan tempat yang layak untuk menyendiri. Maka kuadukan hal tersebut pada beliau dan beliau menjawab "Tidak ada tempat yang lebih tepat untuk bersendiri kecuali kuburan". Maka aku mulai berzikir sendirian di dekat pekuburan, namun tidak mendatangkan hasil, juga tidak menambah semangatku untuk berzikir, padahal aku sudah mengupayakannya berhari-hari. Hal itu dikarenakan aku seringkali merasa takut. Akupun mengeluhkannya pada syekh. Beliau menjawab "Aku tidak mewajibkanmu melakukan itu. Aku hanya mengatakan bahwa di kuburan lah tempat kita sendiri". Kemudian beliau memerintahkanku agar menyingkat zikir pada sepertiga malam terakhir. Maka begitulah, aku berzikir di malam hari dan berkumpul dengan beliau siang harinya. Terkadang beliau yang mendatangiku, terkadang aku yang mendatangi beliau. Hanya saja tempat beliau tidak selalu dapat digunakan untuk perkumpulan karena faktor keluarga maupun yang lainnya.

Namun di samping itu, di tengah hari aku tetap mengikuti pelajaran ilmiyah yang biasa aku ikuti sebelumnya. Suatu hari beliau menanyakanku perihal tersebut "Ilmu apa yang biasanya rajin kamu ikuti itu?". "ilmu tauhid" jawabku. "Sekarang saya sedang mendalami tentang dalil-dalil". Maka beliau berkata "Sidi fulan menamakan ilmu tersebut dengan ilmu tauhil (pengotoran), lebih baik kamu menyibukkan diri untuk mensucikan batin (hatimu) sampai cahaya Tuhanmu menyinarinya hingga kamu betul-betul mengenal makna tauhid. Adapun ilmu kalam tidak akan berfaedah, melainkan justeru hanya menambah keraguan dan ilusi." Begitulah makna perkataan beliau. Beliau berkata lagi "Lebih baik kamu tinggalkan semua pelajaran itu sampai kamu selesaikan amalanmu sekarang, sebab mendahulukan yang lebih penting itu wajib." Belum ada perintah yang kurasakan lebih berat dari perintah beliau yang satu ini. Sampai-sampai aku nyaris tidak mematuhinya saking sudah merasa senang dengan pelajaran-pelajaran tersebut untuk menambah pemahamanku. Namun beruntung Allah membisiku batinku "Siapa tahu itu juga merupakan ilmu yang kamu cari atau bahkan lebih tinggi dari itu". Kedua; kuhibur diriku sendiri, barangkali larangan menekuni ilmu tersebut tidak selamanya. Ketiga; bagaimanapun aku telah dibaiat untuk mematuhi perintah beliau. Keempat; mungkin beliau hanya ingin mengujiku seperti yang biasa dilakukan para murobbi. Sayangnya semua gelitik hati tersebut tidak mampu menepis kegalauan di hati. Namun akhirnya perasaan itu benar-benar pergi sejak aku mengganti waktu-waktu belajarku dengan berzikir dalam khalwat, terutama ketika hasil zikir tersebut mulai ku rasakan.

Adapun tahapan-tahapan yang ditetapkan syekh pada setiap murid berbeda satu sama lain. Ada yang berbicara dengan beliau tentang adam, ada yang berbicara tentang sifat-sifat ma'ani ataupun perbuatan-perbuatan yang bersifat ketuhanan (Allah). Setiap perkataanpun mempunyai metode khusus.

Sedangkan metode yang paling dominan dilalui oleh seorang salik (murid) dan itu pula yang kami pegang selama ini adalah diwajibkan berzikir dengan al-Ism al-a'zdam(Allah) disertai dengan mengkonsentrasikan huruf-hurufnya untuk menghadirkan Allah hingga lafaz tersebut benar-benar tertancap kuat dalam hati. Kemudian seorang murid diperintahkan membentangkan huruf tersebut dan mengagungkannya sampai memenuhi sisi barat dan timur. Zikir tersebut terus menerus dilakukan dengan metode tersebut sampai sifat-sifatnya berubah menjadi semacam cahaya. Kemudian syekh memberi petunjuk agar keluar dari pemandangan tersebut dengan cara yang sukar diterangkan. Melalui isyarat tersebut ruh murid lantas dengan cepat seperti keluar dari alam ini (dunia), selama ia memiliki kesiapan yang matang. Jika tidak, maka dia membutuhkan upaya pensucian hati dan latihan terus menerus. Dengan isyarat tersebut murid mampu membedakan antara mutlak dan terikat. Yang nampak baginya dunia ini seperti bola ataupun pelita, lengkap dengan kekosongan yang tak berpermulaan ataupun berakhir. Kemudian pemandangan seperti ini semakin melemah dengan terus berzikir dan berpikir sampai yang tertinggal hanya kesan setelah sebelumnya nampak nyata. Kemudian seluruhnya benar-benar hilang baik yang nampak nyata maupun kesan tadi. Begitulah murid akan terus dalam kondisi tersebut sampai dia tenggelam dalam dunia mutlak tak terikat apapun. Keyakinannya semakin tertancap melalui cahaya mutlak tersebut. Setiap saat syekh mengontrol dan menanyayai perkembangan kondisinya dan memperkuat zikir tersebut sesuai dengan tingkatannya, sampai murid merasakan suatu puncak perasaan yang muncul dalam dirinya dan selalu merasa tidak cukup tanpa itu. Syekh senantiasa membacakan potongan ayat al-quran ini "wa yatluhu syahidun minhu". Ketika murid telah sempurna musyahadahnya sesuai dengan tingkatan(kuat lemah) maqamnya masing-masing, maka dia akan kembali ke alam syahadah (dunia nyata) setelah sebelumnya keluar dari sana. Ia pun menyaksikan hal berbeda dari pemandangan sebelumnya. Itu semua dikarenakan hatinya telah bersih bercahaya. Bagaimana tidak, yang dilihatnya tidak lain adalah cahaya di atas cahaya seperti yang ia saksikan sebelumnya. Akupun telah mengambil maqam tersebut, terus berada di sana bertahun tahun lamanya dan semakin berkembang. Beberapa pengikut lantas mempelajari apa-apa yang kutulis ketika aku berada dalam penguasaan maqam tersebut. Di antara mereka sekarang ada yang memahami hal itu ada juga yang tidak. Kondisi semacam ini terkadang masih menghantuiku. Namun tulisan tersebut tidak kuselesaikan, karena lebih banyak terpanggil untuk langsung menyampaikannya. Bagiku itu adalah bekal termudah dan lebih dapat menyentuh perasaan.

Metode tarekat(tarbiyah) yang aku sebutkan dari syekh tadi itulah yang menjadi pedoman terakhir dalam perjalanan spiritualku dan yang paling banyak ditempuh oleh pengikut-pengikutku selanjutnya, karena bagiku itu merupakan jalan yang paling singkat untuk menuju Allah Swt.(ma'rifatuLlah). Kemudian setelah zikir tersebut membuahkan hasil yaitu ma'rifat kepada Allah dengan musyahadah aku merasa masih punya kekurangan pengetahuan dalam ilmu tauhid, juga melalui isyarat syeikh. Maka setelah itu beliau menyuruhku untuk kembali menghadiri pelajaran-pelajaran yang pernah aku ikuti sebelumnya. Namun herannya, selama menghadiri pelajaran tersebut aku memperoleh pemahaman yang berbeda dari pemahaman sebelumnya. Aku dapat menangkap inti permasalahan lebih dulu sebelum syeikh selesai menggambarkannya. Kemudian pemahamanku juga bertambah selain dari makna zohirnya. Singkatnya pemahamanku betul-betul tidak sebanding dengan yang dahulu. Demikianlah, pemahamanku semakin meluas. Sampai sampai jika seseorang membaca al-Quran, perasaanku sudah terlebih dahulu mengungkap kandungan makna-maknanya dengan cara yang sungguh luar biasa. Ketika hal itu tertancap kuat dalam diri dan seolah menguasaiku secara alami , akupun merasa takut berada di bawah kendali warid tersebut. Maka aku mulai menuliskan apa yang terlintas dalam hati tentang pemahaman al-Qur'an dengan karakter yang tidak biasa karena aku dalam pengendalian warid tersebut. Hal inilah yang turut memotivasiku untuk menjelaskan kitab al-Mursyid al-Ma'in melalui metode isyari, mewaspadai kemungkinan tejebak dalam ibarat yang terlalu tinggi. Ketika itu pemahamanku sudah mulai terkendali. Hal seperti ini juga pernah terjadi sebelum aku merampungkan kitab yang bernama Miftah al-Syuhud fi Madzohiri al-Wujud yang ketika tahap persiapannya kondisi spritualku melambung tinggi karena beberapa faktor, arah pikiranku meleset dan pembicaraanku jadi panjang lebar. Disamping aku tidak mampu membendung getaran itu. Maka aku aku adukan hal tersebut kepada syeikh. Lantas beliau mengatakan "Hempaskan itu dari benakmu dan letakkanlah dalam suatu kitab, maka engkau akan merasa tak terbebani lagi. Dan benar itu terjadi seperti yang beliau katakan. Adapun kitab tersebut sampai sekarang hasratku belum terpanggil untuk menyebarkannya. Allah lah yang mengetahui apa yang akan terjadi nantinya.

Setelah sekian lama aku menyibukkan diri dengan zikir al-ism al-a'dzam yang merupakan kelazimanku selama ini (hal ini kulakukan berhari hari lamanya) syekh berkata "Sekarang kamu harus menyampaikan dan menunjuki orang-orang ke jalan ini, karena engkau telah yakin akan perkara ini". Maka aku berkata "Apakah menurut engkau mereka mau mendengarkan saya?". Beliau berkata "Sesungguhnya kamu akan seperti singa. Bagaimanapun kamu letakkan tanganmu di atas sesuatu, maka kamu akan selalu memperolehnya". Apa yang dikatakan beliau betul terjadi. Bagaimanapun aku menyampaikan hal itu pada seseorang untuk mematuhi tarekat ini, maka niscaya dia mengikuti perkataanku dan mengikuti petunjukku, sehingga tarekat ini semakin berkembang (puji syukur bagi Allah). Suatu ketika aku pernah menanyakan beliau tentang perintah beliau agar aku menyampaikan ilmu tersebut setelah sebelumnya memintaku untuk diam. Maka beliau menjawab "Ketika pertama kali aku datang ke Maroko, aku menyebarkan ilmu ini seperti yang kulakukan sebelumnya. Namun ketika banyak orang menampakkan pertentangan, aku melihat Rasulullah Saw. mengisyaratkanku untuk diam. Maka sejak saat itu akupun diam sampai aku nyaris terbakar. Karena itulah sekarang aku mengizinkanmu untuk menyebarkan dakwah. Jika tidak aku tidak mungkin seberani ini memberimu izin dakwah. Di hari-hari terakhir ini aku melihat seseorang mengatakan padaku (sampaikanlah! itu tidak mengapa)". Barangkali yang beliau maksudkan seseorang itu adalah baginda Rasulullah Saw. Wallahu'alam.

Demikianlah aku bersama beliau di masa-masa permulaan. Suhbahku pada beliau kemudian berlanjut hingga lima belas tahun lamanya, berjuang bersama menegakkan agama Allah di tarekat ini. Ada banyak orang yang turut membantu dan mendukungku. Dan tidaklah tersisa dari para senior-senior kecuali hampir sepuluh orang (semoga Allah selalu mengokohkan kehidupan mereka dan menambah pertolongan-Nya. amin). Adapun peranku dalam tarekat ini lebih banyak mengorbankan jiwa ragaku untuk berkhidmat pada syekh, juga membantu menyebarkan dakwah. Sampai-sampai aku rela meninggalkan beberapa kepentingan daruratku. Jika saja bukan karena persaudaraanku dengan al-Haj bin 'Audah bin Sulaiman yang memelihara harta dan mengontrol perniagaanku, niscaya aku telah kehilangan itu semua. Begitulah aku benar-benar total mengabdi di jalan ini, sampai tempat perdaganganpun dikesampingkan karena digunakan untuk kegiatan pembelajaran di malam hari. Namun alhamdulillah semua itu tidak mengurangi penghasilanku, juga tidak mengurangi jatah perniagaan.

Kemudian sebelum syekh RA wafat, Allah mengilhamiku dengan suka bepergian. Maka aku mulai mempersiapkan segala sarana untuk pindah ke arah Timur, karena aku melihat negara tersebut dilanda degradasi moral. Namun ketika aku hampir saja berangkat, tiba-tiba syekh sakit keras dan beliau mengetahui rencana keberangkatanku. Aku merasa tidak tega meninggalkan beliau dalam kondisi tersebut. Begitupula saran teman-temanku. Adapun hal yang paling memberatkan ku adalah banyaknya pekerjaan yang sukar dilaksanakan. Di satu sisi aku harus menemani syekh yang sedang sakit. Di sisi lain, aku sudah memeperoleh visa bersama keluarga yang apabila waktunya habis tidak dapat dipergunakan lagi, sedangkan saat itu sulit sekali memperoleh visa. Harta benda dan perkakas rumah juga sudah kujual. Ringkasnya aku seperti bukan berada di negara sendiri. Apalagi sebelumnya aku telah menitipkan isteriku pada kerabat di kota Tilmasan. Maka dengan berat hati pada akhirnya aku memilih untuk meninggalkan syekh ku pada detik-detik terakhirnya dan aku pergi setelah kurang lebih lima belas tahun mengabdi pada beliau. Selama itu aku tidak pernah menentang beliau. Setelah beberapa hari berselang beliaupun wafat.

Syekh telah mengisyaratkan bahwa akulah khalifah dan pewaris sir beliau. Hal ini juga merupakan kesepakatan dari para fuqara(kaum sufi) ketika mendengarnya dari syekh dan memimpikannya. Maka berdatanganlah seluruh kalangan awam dan khas dari ahli tarekat untuk dibaiat. Setelah itu, kami bepergian ke berbagai negara-negara Islam. Ketika aku berada di Tunis, berdatangan pula beberapa kaum faqih dan sufi. Di situ kami mengadakan muzdakaroh dan saling tukar pemahaman tentang berbagai masalah. Beberapa fuqaha yang aku ingat pernah berkumpul denganku waktu itu di antaranya: ahli hadist sidi al-Akhdhar bin al-Husain dan syekh Shaleh al-Qushaibi, serta sidi syekh Ahsawinah al-Jazairi. Beberapa murid mereka ada yang telah direkrut dengan suka rela, ada juga yang belum. Beberapa kelompok terakhir ini kemudian banyak yang masuk tarekat kami. Sebagian mereka mengusulkan agar aku memberikan mereka pelajaran kitab al-Mursyid al-Ma'in dan menjelaskannya dengan metode isyari seperti yang terangkum dalam perkataan pengarang "Adanya merupakan bukti yang nyata dan pasti bahwa segala yang hadist menunjukkan adanya Pencipta". Hal ini banyak mendatangkan dampak positif bagi pendengar dan beberapa mereka masuk tarekat kami karenanya. Demikianlah kami menghabiskan masa itu dengan zikir dan nasehat. Sebagian mereka mampu mengambil manfaatnya, berkat ziarah tersebut alhamdulillah.

Demikianlah beliau r.a menceritakan profile beliau. Adapun semasa hidup beliau senantiasa mengajar fiqih dan bahasa arab serta menyebarkan dakwah Islam kepada umat. Dampak amal saleh ini, maka tersebarlah tarekat beliau ke berbagai negara, khususnya di daerah perkampungan Galizan dan Tilmasan. Pengikutnya telah mencapai ratusan orang. Beliau disaksikan dengan berbagai keramat dan limpahan sifat-sifat rabbani. Penduduk Tilmasan sangat menghormati dan memuliakan beliau, baik dari para syuyukh, fuqaha dan ulama-ulama dari kaum pedagang. Hal semacam ini merupakan sesuatu yang langka terjadi pada orang lain di masa beliau.

Di hari-hari itu, beliau mengarang kitab bernama "Lubab al-'Ilmi fi Tafsiri surah an-Najm" yang manfaatnya sungguh dirasakan para murid dan mampu dijadikan motivator besar bagi yang mengharap rida ALlah. Di saat itu beliau juga seringkali pulang pergi mengunjungi kota Tilmasan sampai dua atau tiga kali dalam setahun. Setiap kunjungan, beliau tinggal di sana sekitar satu atau dua bulan lamanya. Hari kunjungan beliau merupakan hari yang paling ditunggu oleh para penduduknya. Bandara pun menjadi penuh dan sesak oleh orang-orang yang menunggu kedatangan beliau. Beliau disambut dengan penuh sukacita dan penghormatan. Beliau wafat pada tahun 1934 M, semoga Allah menempatkan beliau di surgaNya yang lapang. Amin.

Baca selengkapnya...

Sunday, December 6, 2009

Kau Dan Aku Untuk Kita

dalam bias senyum terpatri asa tersirat bahagia
lantaran berkumpul jiwa-jiwa haus di beranda kasih
dahulu tercerai sahaja, tak peduli muram durjana
kini kau ada bersama matahari pagi
semaikan rindu selembut embun

kau yang sendiri begitu rapuh
namun tidak dalam kebersamaan
karena hati-hati terpaut
karena janji janji menyatu
kau dan aku ada untuk kita



ya, kau dan aku ada untuk kita
bukan dicela saat terlupa, terseret luka
bukan dicerca saat tak mampu lakukan apa
tetapi rangkul saja dengan cinta
karena kita ada untuk maju bersama

ya, kau dan aku ada untuk kita
bukan membumbung tinggi lupakan kawan
bukan pula tertinggal sendiri di belakang
mengayuh sama-sama, berjuang sama-sama
karena bumi tercinta tak harapkan bercerai

ya, kau dan aku ada untuk kita
karena kita terdiri dari kau dan aku
bukan aku aku yang berjalan congkak
bukan juga kau yang tak tahu menahu
tetapi kemarilah, satukan tekad dan cinta!

by: amie el-banzary

Baca selengkapnya...

  © Blogger template 'Ladybird' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP