"Hadirilah Sidang Disertasi Doktoral Bapak Tuan Guru Bajang TGKH. M. Zainul Majdi, M.A, nanti hari Sabtu, 8 Januari 2011 M, pukul: 10:00 Waktu Kairo, di Aula Syeikh Abdul Halim Mahmud Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo " " Pokoknya NW, Pokok NW Iman & Taqwa " " Inna Akromakun Indi Anfa'ukum Linahdlatil Wathan Wainna Syarrokum Indi Adhorrukum Binahdlatil Wathan " " Dewan Tanfidziyah Perwakilan Khusus Nahdlatul Wathan Mesir Periode VI Masa Bakti 2010-2011 "

Sunday, December 6, 2009

Aku Lelaki

Kamar losmen yang baru saja aku sewa nampak begitu suram. Harusnya tidak begitu, karena lampu besar yang dipasang cukup menerangi seisi kamar, bahkan nyaris menyilaukan. Ukuran kamar juga cukup besar untuk kutinggali seorang diri. Tapi aku tak menikmatinya dan tak mampu menikmati apapun malam ini. Aku merasa dunia sangat sempit. Hatiku terlalu gelap, entah karena terkotori oleh egoku atau lelahku pada kehidupan ini. Entah, aku lelaki terpasung dalam bisu. Lelaki yang merasa ingin pergi jauh dan membuktikan pada dunia bahwa aku mampu menjadi lelaki dengan caraku sendiri.



Aku seperti mencari sesuatu, tanpa mengerti apa. Persetan dengan mereka yang telah bersusah payah mendidikku jadi lelaki dahulu. Aku muak! Aku tak bahagia. Aku ingin menikmati masa mudaku semau hati tanpa seorang pun melarang. Persetan dengan ayah yang sok militan mendidikku. Apalagi ibu yang kini tak berdaya apa-apa atasku. Perempuan itu kini hanya mampu mengeluh di atas kursi rodanya. Dia memang sudah lemah dan renta kini, terlihat lebih tua dari usia sebenarnya. Apakah setiap saat aku harus bersusah payah merawatnya? Menghabiskan banyak waktuku hanya untuk membantunya melakukan sesuatu?

Setan hitam bersarang di jiwaku kini. Aku tersenyum kecewa, mengingat kejadian memuakkan tadi sore, sebelum aku menginjakkan kaki di losmen ini. Ya, selama ini aku selalu mematuhi apa kata ayah, dari kecil tak pernah berani membantah. Bagiku ayah adalah sosok tegas yang terlalu berwibawa di mataku. Aku anak satu-satu nya, lelaki satu-satunya. Ayah mendidikku terlampau keras, sampai-sampai aku merasa tak pernah pantas punya pilihan sendiri atas hidupku. Aku marah dan menderita, namun hanya mampu memendamnya. Tapi sekarang semuanya berbeda. aku sudah dewasa, dan aku merasa bukan lagi anak kecil yang perlu diatur demikian rupa.

Puncaknya, ketika ayah tidak menyetujui keputusanku untuk kuliah di luar kota, aku sudah tak mampu membendung semuanya. Lahar panas yang tersimpan lama dalam dadaku, seketika membara, mengeluarkan sumpah serapah yang tak pernah aku katakan pada siapapun sebelumnya. Ayah tersentak. Matanya memerah. Namun sebelum ia sempat berkata-kata lagi aku segera berlari ke kamar, merapikan baju-bajuku untuk segera ke luar dari rumah yang terasa seperti neraka. Ayah mendatangiku dan mencoba membujukku.

"mau ke mana, nak?" suaranya datar, tak ada nada kemarahan.
"kamu tidak kasihan ibu jika kamu pergi jauh dari rumah ini?. Kamu boleh kuliah di jurusan apa saja nak, tapi ayah mohon tetaplah ada di rumah, temani ayah merawat ibumu!" tak seperti biasanya ayah memohon. Biasanya hanya ada perintah atau larangan.

Hatiku tertohok mentah-mentah. Aku lantas berdiri tepat di depan ayah.
"Dari dulu saya selalu menuruti kata ayah, harus begini, tidak boleh begitu! Apa belum cukup dinamakan berbakti? Sekarang hanya karena ibu, saya yang jadi korban? Kan ayah bisa menyewa pembantu untuk merawat ibu? Atau jika itu merepotkan ayah, kita bisa saja menitipkan ibu ke panti jompo? Beres kan?"
Plakkk. Satu tamparan keras mendarat di pipiku. Sakit luar biasa.

Ayah sangat marah dan tidak pernah menyangka aku akan mengatakan kata-kata pedas itu. Aku sendiri tak tahu kenapa aku begitu nekat. Mungkin karena aku sudah muak dengan semuanya. Aku sudah tak tahan. Aku tinggalkan ayah yang masih menyimpan seribu kemarahan dan kekecewaan. Aku keluar dari rumah tanpa tahu keberadaan ibu saat itu. Mungkin aku sudah menjadi anak yang durhaka. Tapi aku tak peduli. Aku merasa pantas melakukan itu. Terlalu lama aku menahan sesak di dada. Aku ingin membayar semua kebahagiaan yang terenggut dengan caraku sendiri.

Malam larut, mataku terpejam, tapi pikiranku mengawang ke masa dulu, saat ayah mendidikku bagaimana menjadi lelaki.
"ayo nak, bangun! Kamu harus kuat, harus bisa!". Begitu ayah menyemangati, kalau aku sudah berputus asa mengejar bola, belajar naik sepeda, atau jika sudah kewalahan mengerjakan peer di sekolah. Sesekali ayah membentak jika aku menangis.
"lelaki gak boleh cengeng. Jangan menangis!!!!".
Jika ayah sudah bersuara keras begitu, aku hanya mampu tersentak. Setiap subuh ayah membangunkanku. Kalau aku malas-malasan ia tidak segan-segan menarik tanganku dengan kasar sampai aku terbangun. Pernah juga suatu ketika ia memarahiku habis-habisan karena ketahuan membonceng fatma anaknya pak haji Abdullah sepulang sekolah. Dia bilang seorang lelaki tak layak berduaan dengan perempuan.

Aku mengagumi ayah ketika itu. Bagiku ia sosok disiplin yang bersahaja, berbeda dengan ibu yang lebih lunak dan tak pernah marah. Ibu lebih banyak membelaku dan seringkali memuji setiap kali ku berhasil melakukan sesuatu. Tapi itu dulu, sebelum aku merasa dewasa dan mengenal duniaku. Sekarang aku mulai merasa ingin lebih. Aku merasa ingin merubah hidupku. Aku merasa tak perlu lagi dicampuri urusanku. Aku ingin bebas seperti yang lain. Semakin lama aku semakin tidak suka dengan cara ayah mendekteku. Kenapa aku tidak boleh menentukan hidupku sendiri?, berpura-pura penurut di depan ayah, berpura-pura lugu. Kupikir ayah bukan mendidikku sebagai lelaki, tapi sebaliknya. Aku punya otak pintar, punya tampang dan uang. Kenapa aku tak boleh menikmati itu semua dengan caraku sendiri???"

Teriakan emosiku waktu itu membuatku terduduk lemas. Keringat dingin mengucur deras. Tanpa sadar aku meraih hape ku, menghubungi Aldy teman SMA dulu. Sejam kemudian aku meninggalkan losmen dengan Aldy, pergi ke suatu tempat. Kuingin pergi jauh dari kemelut. Terbang hingga tak mampu merasakan kepedihan lagi.
"bawa aku kemana saja, dy. Plis! Pikiranku sudah buntu."
"ke mana ? Aldy menanyaiku yang tak berdaya layaknya mayat hidup. Ia memboncengku sambil ngebut. Aku sudah tidak peduli. Yang penting aku bebas malam ini.
"terserah kamu aja dy!, ke tempat yang kamu tawarkan kemarin juga boleh". Aldy tak menggubris lagi, tapi aku tahu dia pasti tersenyum menang karena berhasil membawaku ke diskotik. Dari dulu dia selalu menyarankanku pergi ke sana, setiap kali ku mengeluh soal ayah, atau ibu yang lemah di pembaringan.
"nikmati hidup fren! Mumpung masih muda! Ngapain dipikirin hal begituan. Enjoy…fly!!!" aldy, teman yang mengaku sebagai teman baikku itu tak pernah berhenti membunjukku ikut dengannya ke klub2 malam. Biasanya aku selalu berhasil menolak. Namun kali ini aku pasrah. Aku mengaku kalah.

Jadilah malam itu aku menghabiskan waktu menikmati surga dunia. Sesuatu yang sebelumnya hanya pernah aku dengar kini benar-benar mampu membawaku terbang, ditemani sebotol wisky dan perempuan-perempuan erotis. Di sini aku aman tanpa seorangpun melarang. Di sini aku juga bisa mencumbui wanita-wanita cantik semau hati, tanpa harus sembunyi-sembunyi seperti dulu aku berpacaran dengan fatma tetanggaku itu. Aku tergelak meski kesedihan itu tak mau pergi. Aku tertawa meski dalam memoriku masih tertinggal kasih ayah ibu. Aku tenggelam dalam duniaku sendiri. Aku bangga dengan diriku sebagai lelaki bebas. Inilah aku yang disebut lelaki. Dan aku takkan menangis. Akan kubuktikan bahwa aku tidak butuh mereka. Aku bisa berdiri di atas kakiku sendiri. Aku lelaki…
*******
Aku tak tahu bahwa sosok ibu yang telah renta itu berdoa dalam salat malamnya. Memohon pada Allah agar hatiku dibukakan kembali. Matanya yang tlah rabun tak henti menangis. Memintakan ampun Tuhannya atas kekhilafanku, dan berharap aku segera kembali. Ia ingat aku kecil saat di pangkuan, ketika masih tinggal di desa bersama nenek. Apabila menjelang magrib, aku kecil paling senang pergi ke surau bersama teman-teman. Tak pernah lupa memakai peci hitam kesukaanku. Sesekali aku menemani bang Ujang memandikan kerbau. Aku kecil pandai membaca quran, selalu lebih dulu khatam dari teman-teman. Aku juga selalu jadi juara kelas. Aku kecil begitu sempurna di mata Ibu, baginya aku adalah permata hati yang sangat ia cintai, bahkan hingga kini aku pergi, ia tetap mencintai dan merindukan kepulanganku.

Mulut itu tak henti berkomat kamit dengan do'a. doa yang ia lantunkan di ruangan pengap serba putih. Ya, ia merasa seolah akan kehilangan dua orang yang dicintainya sekaligus. Ayah tiba-tiba terjatuh kena serangan jantung, tidak lama setelah aku pergi, dan kini terbaring lemah di rumah sakit. Dokter berani memastikan bahwa jiwanya sulit diselamatkan, kecuali takdir berkata lain. Tapi ibu benar-benar berhati baja, ia tak lelah meminta pertolongan Allah, agar masih diberi kesempatan untuk membahagiakan suaminya dan aku, anaknya. Doa itu tlah menancap kuat di dadanya.

******

Aroma bunga kamboja menusuk, daun-daunnya berjatuhan layaknya musim semi. Langkah-langkah kaki berlalu dengan hening. Isak tangis warnai pekuburan yang lenggang. Aku hanya bisa mematung sendiri, menyaksikan upacara pekuburan ayah dari kejauhan, dengan air mata bercucuran. Aku tak tahu apa aku masih pantas menampakan diri sebagai seorang anak, berdiri dan terisak di samping ibu. Aku bukan lelaki seperti yang ia harapkan, bahkan mungkin aku bukanlah manusia. Seseorang yang berhati batu sepertiku tak lagi layak disebut manusia. Tiba-tiba saja aku sangat merindukan sosok ayah yang tangguh dan tegar. Aku baru tahu ternyata dia menyimpan penyakitnya dari dulu, namun ia tidak pernah menunjukkannya padaku. Ia juga pernah mengatakan bahwa tidak ada yang lebih berharga selain melihatku dewasa. Oh, aku ini anak seperti apa? Sanggupkah aku memohon ampun pada ibu? Masihkah layak ku berada di sisinya kembali? Rasanya kuingin pergi saja, menebus dosa-dosaku dalam sepi.

Aku nyaris saja berlalu, jika saja tak kudengar suara ibu memanggilku. Matanya sudah tak mampu melihat dengan jelas. Tapi seorang ibu tak pernah salah mengenali anaknya. Nurani yang memberitahukannya keberadaanku.
" anakku, kemari nak!" oh, suara tulus itu seperti menggerogoti ulu hati. Entah angin apa yang membawaku langsung bersimpuh di kakinya. Ku lerai segala slogan kecongkakanku atas nama lelaki. Kuciumi tangannya dengan segenap rasa bersalahku. Dan aku tak peduli dunia mengataiku lelaki cengeng. Justeru aku bersyukur masih diberi kesempatan untuk berbakti pada seorang wanita yang bernama ibu, meski ku tak sempat meminta ampun pada ayah.

"Ibu!! Maaf…" hanya itu yang mampu keluar dari mulutku. Rantai penyesalan menyekik tenggorokan, membuatku tak mampu berkata apapun lagi. Ku tenggelam dalam buai kasih ibu. Ia hanya tersenyum penuh haru sambil mengelus rambutku manja, persis ketika ia menimangku waktu ku kecil dulu, atau membujukku yang merengek minta dibelikan mainan. Garis di wajahnya tidak menunjukan rasa marah, ia juga tidak menangis. Barangkali dia telah lelah menangis. Untukku dia selalu tegar.

Pagi tak bermentari. Ribuan malaikat seolah berdatangan mengitari tanah basah pekuburan. Ku dorong kursi roda ibu pergi meninggalkan kuburan ayah, meninggalkan seribu doa dan janji, bahwa aku takan pernah pergi lagi, menemani ibu sampai batas waktu yang ku ada. Aku ingin menjadi lelaki berbakti, berusaha lakukan yang terbaik dan menebus air mata yang selama ini tumpah dari mata ibu. Karena aku memang ada untuk berbakti. Karena aku terlahir dari rahim ibu yang suci. Aku lelaki…

0 comments:

  © Blogger template 'Ladybird' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP