"Hadirilah Sidang Disertasi Doktoral Bapak Tuan Guru Bajang TGKH. M. Zainul Majdi, M.A, nanti hari Sabtu, 8 Januari 2011 M, pukul: 10:00 Waktu Kairo, di Aula Syeikh Abdul Halim Mahmud Fakultas Ushuluddin Universitas Al-Azhar Kairo " " Pokoknya NW, Pokok NW Iman & Taqwa " " Inna Akromakun Indi Anfa'ukum Linahdlatil Wathan Wainna Syarrokum Indi Adhorrukum Binahdlatil Wathan " " Dewan Tanfidziyah Perwakilan Khusus Nahdlatul Wathan Mesir Periode VI Masa Bakti 2010-2011 "

Monday, November 16, 2009

Le Pacha

“Jangan dijajah dengan pesona pandanganmu akan tubuh-tubuh Kaukasia itu. Kutunggu kau di Le Phaca pukul 8 malam ini”.

Saat itu siang menjelang sore. Aku sedang menikmati suasana di Paradise Island ketika ponselku bergetar lalu kubaca 2 kali.

“hahaha…tenang, seleraku tak kan berubah. OK. Traktir aku Cappucino”.

Aku mengirim pesan balik tanda setuju. Aku masih tiduran di bibir laut ini. Memandangi biru terbentang. Membiarkan pikiran melayang lalu kembali bersama ombak kecil mencumbu pantai. Anna Nadifa Aprilia. Kukenal dia 6 tahun lalu di kereta bawah tanah. Kebetulan tujuan kami sama: turun di stasion Sadat, menaiki berpuluh anak tangga, lalu bergegas ke lantai 2 Kantor Imigrasi. Sama sepertiku, Anna juga hendak memperpanjang visa tinggal. Sejak itu jadilah kami sahabat karib. Berkirim kabar, ngobrol di café, menonton teater di Opera House sampai berdebat soal Farag Fouda, sastrawan Mesir yang hayatnya berakhir tragis itu.



Sekali aku pernah iseng bertanya:

“Ayahmu pintar. Beliau membuatku tak mengerti arti kosa kata Nadifa”

“Semoga kau tak bermaksud memujiku”. Lalu tawamu pecah.

“Kalau kau anggap itu pujian, maka selamat tersanjung” balasku tak mau kalah dengan sedikit mencibirkan bibir.

“Baiklah kawan, mungkin karena Ayahku suka dengan banyak hal yang berbau Afrika. Jadi beliau memberikan ‘Nadifa’ sebagai hadiah kelahiranku. Nadifa adalah nama Somalia berarti: yang lahir diantara dua musim”.

“Oh..kenapa aku gak berfikir bahwa ‘Aprilia’ adalah petanda”.

“Hehehe…iya. April adalah pancaroba. See, Ayahku tak suka membuat teka-teki tanpa kunci jawaban. Pintar bukan”. Kaupun tertawa lagi. Lepas. Putih gigimu berbaris rapi menelanjangi mukaku.


Aku tersenyum. Sedang matahari masih warna jeruk. Turis-turis Eropa yang kegerahan di negara mereka, berlalu lalang di hadapanku. Pulau ini tak seberapa besar. Semuanya adalah pasir. Tak ada pepohonan kecuali sebatang pohon Kurma imitasi yang menjulang tinggi. Di dekatnya berjejer hurup-hurup besi: PARADISE ISLAND. Di daerahku pulau kecil disebut Gili. Ah… pulau seperti ini saja dinamakan Paradise Island. Jika mereka menyaksikan pulau-pulau kecil nan indah di negaraku, entah mereka akan kasi nama apa. Orang sini memang sangat percaya diri dengan apa yang mereka miliki. Kawan di kampusku dulu pernah berkata: Negaramu emang terlalu rendah diri. Kawasan yang sangat luas aja dinamakan Taman Kecil. Yang dia maksud adalah Taman Mini Indonesia Indah. Dia betul. Alangkah luasnya taman yang dianggap mini itu. Sebuah taman yang kawasannya berada di bawah administrasi 4 Kelurahan dan 3 Kecamatan!.

Aku menarik nafas kuat-kuat sebagai salam perpisahan untuk pulau pasir ini. Namun bukan seperti Mandy Moore yang menarik nafas dengan membungkukkan badan lalu menghembuskannya sambil mendongak beberapa saat setelah keluar dari bar Marquis de Sade dalam cerita Chasing Liberty. Aku hanya menariknya pelan. Menghembuskannya juga dengan pelan. Ma’assalama, selamat tinggal ucapku ke gili ini. Sebab kapal yang akan membawa kami meninggalkan pulau ini sudah datang. Rencanaku setelah sampai hotel adalah 30 menit di kamar mandi, ganti baju, menyusuri artshops di jalanan sekitar hotel, kemudian menuju Hurgadha Downtown menemui Anna.

Tak ada angkot atau bis menuju Downtown. Taksi menjadi alternatif satu-satunya. Dengan roda empat ini, 15 menit kemudian aku akan sampai di tujuan. Melewati kawasan pasar 1001 malam, lalu pas di pusat keramaian pertokoan souvenir di sepanjang jalan 6th October, aku turun. Membayar ongkos dengan uang pas, aku bergegas melangkahkan kaki ke café itu. Setelah menyapa waiter di pintu muka, lantas pandanganku mengitari kursi, meja, para pengunjung, pelayan, barista, sampai pandanganku membentur tulisan ‘smel it before you taste it’. Dan dibawah tulisan itu duduklah seorang perempuan dengan 2 cangkir di meja. Aku yakin salah satu cangkir itu berisi capuccino pesananku. Dialah Anna Nadifa Aprilia.

“Aku hanya telat 7 menit saja kan?”. Aku langsung menyergahnya. Aku tidak suka memulai kalimat dengan kata ‘maaf’ jika berhadapan dengan sosok perempuan ini.

“Rileks Bam, aku gak akan menghukummu hanya karena 7 menit” sambutnya.

“Maka terima kasih Tuhan, seorang perempuan tak memancungku dengan ceramahnya tentang tepat janji, disiplin waktu hingga Tokyo, dimana bis kota selalu datang tepat waktu….hahahaha”

“Jangan senang dulu Bung, 7 menit itu telah merenggut sebuah kenikmatanmu”

“O,,,ya? Apakah itu, saudari?”

“Aroma kopi yang baru disajikan tak dapat kau hirup” sambungnya sambil memberi isyarat ke tulisan di atas kami.

“Better late than never” langsung aja ku angat tangkai cangkir itu, mencium aromanya sebentar lantar menyerubutnya 1 kali saja.

Setelah basa basi itu, kami terdiam. Memfokuskan diri pada seorang gadis yang membawakan lagu teranyar dari Norah Jones. Vocal gadis itu cukup kuat, walau tetap tak bisa menyamai Norah. Tuhan memang memberi anugerah berbeda pada tiap orang. Dan anugerah paling nyata dari gadis itu adalah aku dan Anna juga pengunjung yang lain terkesima serta tepuk tangan meriah seusai penampilannya.

“Menurutmu apakah penyanyi muda itu beruntung terlahir disini?”. Anna membuka pembicaraan tanpa menggeser posisi duduknya

“Oh iya…dia beruntung dengan roti, keju dan salad” jawabku sekenanya. Aku gak tau dia serius atau lagi ingin membuka topik jenaka.

“Dia beruntung karena kehidupannya disini persis mimpi yang gagal dari Kartini puluhan tahun lalu”

“Emansipasi? Bagiku perempuan disini hidup dalam emansipasi serupa dahan dari tonggak yang tak konsisten. Bergerak kemana angin situasi membawanya”.
Sengaja kutekan nada bicara pada kalimat terakhir. Aku ingin liat responnya.

“Situasi memang membuat nakhoda merubah haluan kawan. Jangan pungkiri itu. Bukankah nikmat kebebasan setelah berada di kungkungan kultur yang membuatmu seperti murai yang berkicau kencang dalam sangkar?”

“Justru dengan kebebasanlah kita bisa melihat sejauh mana konsistensi seseorang. Kau lihat sendiri seorang pegiat kesetaraan bisa menulis berpuluh-puluh tulisan, beragam argumen serta aneka bukti pendukung emansipasi. Tapi di lain kesempatan, para perempuan itu selalu ingin didahulukan ketika antri di imigrasi atau di tempat pembayaran bill listrik dan telpon”.
Aku yakin dia akan terpancing. Dan biasanya akan menyerang dengan kata-kata halus tapi bernas. Dan ternyata betul. Dia mengatur posisi duduknya, mungkin karena kata-kataku tadi menumbuhkan bulu-bulu keras di kursi hingga mengganggu posisi duduknya.

“Ah Bam…kau jangan seperti tukang kayu dimana semua hal kau anggap paku lantas kau pukul-pukul. Yang kau sampaikan itu adalah kejadian parsial, sebatas apa yang kau saksikan. Dan itu tak bisa dipake men-judge. Mari saja kita ambil positifnya. Jika dibandingkan perempuan-perempuan di negeri kita, kita ketinggalan. Lihat aja di daerahmu, perempuan disana bak benda mati aja. Ketika mau nikah, di larikan dari rumah orang tuanya. Lalu ketika cerai, si perempuan itu harus kembali ke rumah orang tuanya. Gak ada jaminan nafkah dan tempat tinggal. Akhirnya aku tak menganggap bahwa gejala yang kau sampaikan tadi adalah buah dosa Qasim Amin yang pertama kali memperkenalkan emansipasi ke negeri ini”.

Wow, Anna seperti memberi kuliah kepadaku. Kulihat ia menahan tawa setelah menghirup kopinya. Begitulah gaya bincang-bincang kami. Akrab, bernyawa, seru dan penuh determinasi. Bukan untuk saling mengalahkan. Namun berhenti pada sebuah kecenderungan gaya obrol yang sama-sama kami suka. Kadang-kadang begitulah cara kami bercanda.

“Oke..oke…soal Qasim Amin, aku gak ingin lanjutkan. Karena sepertinya bukan untuk itu kau undang aku kemari. Bukankah begitu saudari?”

“Iya…sejatinya ada hal lain. Beberapa waktu ini menggangguku. Yang tak ingin aku lakukan adalah mengorbankan sebuah jalinan keakraban demi aku sendiri. Terus terang aku tidak mau seperti itu….”
Anna tak melanjutkan ucapannya. Tumben ia seperti gelisah. Ia seolah kikuk dihadapanku. Sikap yang tak biasa. Ia menarik nafas pelan. Mungkin ia mencoba mengontrol sesuatu di dalam dirinya. Sedang aku sendiri, tetap menunggu ucapan selanjutnya. Aku masih belum mengerti arah pembicaraannya. Biarlah aku diam dulu sampai ia benar-benar bisa mengutarakan maksudnya.

“Puncaknya adalah kemaren malam. Ketika kebimbangan membuat mata kebal kantuk, kutenggelamkan diri dalam Hamlet saja. Kurasakan diriku hadir di sana. Ketika perang usai, dan sang raja menatap kekalahan dari tepi. Willy benar ketika ia menulis bahwa banyak pertimbangan tidak hanya membuat seseorang jadi lambat bergerak, tapi lama-lama juga mendidiknya menjadi seorang pengecut. Dan kau tau, aku tidak ingin seperti raja itu. Yang menyadari kekeliruannya justru setelah kalah”

“Jika memang seperti itu, maka jangan kau tunggu peluang hilang karena ragumu. Jika sampai itu terjadi, maka saat itu kau sedang tak menjadi dirimu yang selama ini aku kenal. Jika dikatakan kaum intelektual adalah komunitas otak kiri hingga cenderung lambat beraksi, itu bukanlah kesalahan absolut. Tapi jangan karena prediksi-prediksi, kita menjadi kehilangan keyakinan akan adanya kejutan dalam hidup. Selalu ada kejutan. Selalu ada hal yang tak terduga. Pergantian nasib bukanlah variabel – variabel dalam sebuah deret linier. Jadi melangkahlah…seperti kau yang kukenal”

Aku berusaha meyakinkannya. Bukan karena aku sendiri lebih berani darinya. Tidak sama sekali. Inilah sesungguhnya adaptasi itu. Ketika kawan disampingmu dilanda kecemasan, berusahalah untuk membuatnya yakin. Jika ia dalam masalah, berusahalah membuatnya tetap tegar. Walaupun kau sendiri sedang cemas atau dalam masalah. Usaha meyakinkan sahabatmu adalah ajakan pada dirimu sendiri untuk yakin.

“Bam, kau tau…mungkin inilah yang menyebabkan persahabatan kita awet. Dan aku ingin seperti itu seterusnya. Aku yakin kau juga begitu. Tapi ada yang manusia suka lupa. Mungkin karena tatapan mata bisa menembus tapal yang jauh. Hingga apa yang sebenarnya dekat dan akrab menjadi terabaikan. Kenapa aku berfikir tentang dua dewasa yang harmonis dimasa depan pada saat keharmonisan itu justru ada di hadapanku sejak lama? Aku tak ingin yang dekat itu lepas karena bayanganku akan tatanan harmonis di awang-awang”.

Anna menghentikannya ucapannya. Kemudian berdiri dan cepat meraih sebuah kertas kecil dari sakunya.

“Aku gak takut selangkah lebih maju dari kamu. Bacalah setelah punggungku tak terlihat” ucapnya sambil menaruh kertas di hadapanku.

Aku hanya bisa heran. Belum jelas benar apa kesimpulanku dari kata-katanya tadi. Sekarang ia malah bergegas pergi dan meninggalkan lipatan selembar kertas. Aku pandangi kertas itu. Lalu menoleh ke arah perginya Anna. Setelah dia melewati pintu dan pandanganku terhalang waiter muda itu, kuraih kertas itu lantas lipatannya ku buka.
“Kembang mencairkan nektarnya karena ia butuh serangga. Tapi tetap saja serangga yang harus mendekat dan mengisapnya. Datang dan katakan: kau adalah masa depanku”.
Kalimat-kalimat itu tertulis rapi. Kurenungkan sejenak lalu senyumku merekah. Ia adalah kembang, aku adalah serangga. Berarti dia menungguku untuk mengucapkannya. Aku jadi benar-benar mengerti sekarang apa maksud ucapannya tentang keakraban yang dekat dan karib tapi kerap dilalaikan. Senyumku makin sumringah. Berarti apa yang pernah aku pikirkan dulu ketika bayanganku untuk mengakhiri keakraban ini dengan suatu ikatan yang sacral bukanlah dosa. Rasanya aku ingin berlari mengejarnya sekarang.


* * *

Tak terasa kedua mataku berkaca-kaca. Kudekap erat Bening, buah hatiku dengan Anna. Ia terisak di dadaku. Baru kali ini aku menceritakan bagaimana awal kisah cintaku dan Anna kepada Bening. Tepat di hari ketika setahun lalu ibu nya yang anggun itu meninggalkan kami untuk selamanya. Hamartoma merenggutnya dari sisi kami. Terimalah Tuhan….terimalah dirinya.

0 comments:

  © Blogger template 'Ladybird' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP